Rabu, 12 Desember 2012

PENGARUH KEBUDAYAAN MELAYU DALAM PEMBENTUKAN SENI BUDAYA LOKAL NUSANTARA




Oleh
Sri Hastanto

Melayu merupakan sebutan kelompok sosial yang bermukim di beberapa Negara Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Pilipina, Indonesia dan lain-lain. Sebagai budaya, melayu mempunyai sejarah yang sangat panjang mulai dari migrasi besar-besaran 2500 – 1500 SM yang kemudian disebut Proto Melayu. Kemudian disusul dengan gelombang kedua antara 300 SM yang kemudian disebut Deitro Melayu, kemudian terjadi
percampuran dengan berbagai budaya yang bersinggungan, menghasilkan budaya-budaya
baru termasuk budaya Betawi (Melalatoa, 1990:231-232). Sehingga budaya Betawi,
Sunda, Jawa, Bali dan lain sebagainya menurut logika mempunyai kaitan dengan
budayaya Melayu.
Beberapa ahli budaya sering mengutarakan bahwa budaya meliputi tujuh unsur di
antaranya bahasa, adat, seni dan lain sebagainya. Tetapi ada pula untuk pegangan kerja –
sewaktu meristis Peta Budaya Nusantara – Hastanto mengelompokkan unsur budaya itu
menjadi sebilan yaitu: bahasa, upacara adat, busana adat, kesenian, peralatan hidup,
permainan/ olahraga tradisional, asitektur tradisional, kearifan lokal, dan kuliner (Has-
tanto, 2010). Bila budaya yang dimaksud dalam judul pemberian panitia seperti itu, maka
“Pengaruh Kebudayaan Melayu dalam Pembentukan Seni Budaya Lokal Nusantara”
merupakan tugas yang maha berat bagi penulis. Baru melihat unsur budaya yang sembilan
buah itu sudah merupakan volume yang sangat berat belum lagi ditambah dengan kata
“Nusantara” maka tugas itu jelas tidak dapat dipikul oleh penulis.
Oleh sebab itu penulis akan mengambil salah satu karya budaya Melayu yang
mempunyai andil sangat besar atau mempunyai kemiripan – jadi berkaitan erat – dengan
budaya seni pertunjukan di beberapa daerah Nusantara. Karya budaya Melayu itu adalah
“pantun”

Ke teluk sudah, ke Siam sudah
Ke Mekah sahaja saya belum
Berpeluk sudah, bercium sudah
Bernikah sahaja saya belum
(Kurnia, 1990:234)

Pengaruh dan Kemiripan Pantun
dalam Seni Pertunjukan di Nusantara


Pantun adalah karya sastera Melayu yang sangat terkenal, medium sastera adalah
bahasa. Andai kata budaya itu sebuah pesawat udara, maka bahasa adalah “kotak
hitamnya”. Karya dan kebiasaan budaya apa saja dari sebuah suku bangsa tentu terekam
di dalam bahasanya. Oleh sebab itu bila suatu suku bangsa sudah tidak lagi mengenal
bahasanya dengan baik maka sebenarnya lonceng kematian budayanya sudah berdentang.
Bahasa Melayu sebagai lingua franca ternyata mempunyai ketahanan yang luar biasa.
Banyak bahasa daerah yang mulai mempunyai jarak dengan penuturnya tetapi tidak
demikian dengan bahasa Melayu yang justru telah digunakan sebagai Induk bahasa
berbagai bangsa. Jadi dengan demikian budaya Melayu juga mempunyai ketahanan yang
lebih dari beberapa bahasa daerah di Nusantara ini.
Di antara puisi Melayu lainnya pantun merupakan puisi Melayu yang paling
terkenal. Asal muasal kata pantun masih kontroversial, sebagian mengatakan dari kata
Minangkabau patuntun yang berarti tuntunan, ada yang berpendapat berhubungan dengan
kata Jawa (basa Jawa krama) pantun yang berarti padi atau pari (basa Jawa ngoko), ada
juga yang menganalisis dari kata pantun yang berarti umpama.

Dinegeri asalnya ia sering dijadikan nyanyian mandiri seperti misalnya lagu beri-
kut ini:

Babendi-bendi ke Sungai Tanang (aduh hai sayang)
Babendi-bendi
Ke Sungai Tanang (aduh hai sayang)
Singgahlah memetik, singgahlah memetik, bungo lembayung
Singgahlah memetik, singgahlah memetik, bungo lembayung

Hati siapo, indak kan senang (aduh hai sayang)
Hati siapo
Indak kan senang (aduh hai sayang)
Meliaik rang mudo, meliaik rong mudo, menari payung
Meliaik rang mudo, meliaik rong mudo, menari payung
(Hastanto [trans] 14 Okt 2012, Payakumbuh [uploader] 12 Maret 208)

Kata-kata yang ada di dalam tanda kurung adalah sisipan teks pokok, sedangkan
kata-kata yang dicetak miring adalah ulangan. Jadi kalau keduanya dihapus menjadi jelas
sebuah pantun empat bars:
Babendi-bendi ke Sungai Tanang
Singgahlah memetik, bungo lembayung
Hati siapo, indak kan senang
Meliaik rang mudo, menari paying

Di tanah Melayu yang sarat dengan pantun sudah sewajarnya memiliki banyak
produk budaya yang bersumberkan dari pantun. Tidak ketinggalan dangdut gaya melayu
atau lagu melayu bergaya dangdut juga menjamur di daerah ini. Salah satu lagu itu yang
terkenal adalah Laksmana Raja di Laut. Terkenal bukan karena pernah menjadi heboh di
tahun 2004 – 2007 tetapi memang lagunya memancarkan kemelayuannya secara kental.
Teks lagu yang dipopulerkan oleh Iyeth Bustami ini berbentuk puisi tradisional Melayu
„pantun‟ kecuali bagian introduction-nya saja, dan teks yang sangat terkenal adalah di
bagian refrain sehingga digunakan sebagai judul lagu:


Laksmana Raja di Laut
Bersemayan di Bukit Batu
Hati siapa yang tidak terpaut
Mendengar lagu zapin Melayu
(Hastanto [trans] 14 Okt-2012 goodlooking [uploader] 4 Okt 2008

Pantun mempunyai sebaran sangat luas. Hampir setiap kantong budaya memliki
pantunnya masing-masing. Di pulau Sumatra jelas bertebaran dari Aceh sampai ke
Lampung, di Jawa Barat jenis karya sastera ini disebut paparikan1tersebar dari Banten,
Priyangan, Karawang, sampai Cirebon. Di Jawa Tengah dikenal dengan nama parikan
mewarnai berbagai macam seni pertunjukan baik di dalam daerah budaya kraton maupun
luar kraton dan pesisiran. Di daerah budaya ini juga tumbuh karya sastera semacam
parikan tetapi mempunyai persyaratan yang lebih berat lagi, karya sastera itu disebut
wangsalan. Parikan di Jawa Timur daerah budaya Mojokertoan, Jombangan, Malangan,
dan Surabayan, merupakan teks utama dalam kesenian khas mereka yang disebut Jula-
Juli. Di Bali juga mengenal pantun dengan nama sama seperti di daerah Pasundan yaitu
paparikan. Daerah budaya Banjar di Kalimantan juga mempunyai jenis pantun. Daerah
budaya Sumawa di Sumbawa di dalam lawas2-nya juga terdapat bentuk puisi yang pada
dasanya adalah pantun, yang digunakan antara lain dalam seni Sakeco yang bentuknya
seperti berbalas pantun. Tidak ketinggalan daerah budaya Makassar, dan Bugis terkenal
dengan Patun Makassar dan Pantun Bugisnya.. Dengan luasnya sebaran pantun seperti
tertera di atas kiranya tidak mungkin semuanya diulas. Di sini penulis hanya mampu
mengulas secara garis besar pantun di beberapa daerah budaya.

1 Di Tanah Sunda kata “pantun” mempunyai arti yang sangat berbeda dengan pantun
Melayu. Pantun Sunda adalah resitasi ceritera rakyat Pasundan disajikan secara oral
oleh seornag juru pantun dengan memetik kecapai sebagai musiknya, ceritera yang
dibawakan secara recital ini dapat berlangsung semalam suntuk.
2 Lawas adalah seni sastera di daerah budaya Sumawa di Pulau Sumbawa

Di dalam budaya Betawi misalnya, pantun juga membentuk lagu di dalam Budaya
ini bahkan sebuah format lagu. Artinya format melodi yang sama diisi teks dengan
berbagai pantun yang isinya sesuai dengan kehendak penyaji, apakah ingin menyindir,
atau memuji, atau sekedar menggambarkan suasana sekitar atau menggunakan pantun
yang sudah terbiasa digunakan. Sehingga sesuai dengan kaidah seni tradisi, seniman
boleh berkreasi bebas berekspresi asal tidak keluar dari format tradisinya. Berikut adalah
salah satu contohnya:
Format Lagu Jali-jali
Jalan-jalan ke Pasar Baru
Janganlah lupa beli rambutan
Palinglah enak penganten baru
Masuk ke kamar . . .    (tidak terdengar)

Jalilah jali dari Cikini
Jalilah jali sampai di sini
(Hastanto [trans] 14 Okt-2012 Sri Mahligai [uploader] 13 Okt 2007

Di sini kita jumpai dua bentuk pantun sekaligus yaitu pantun berbaris empat dan
pantun berbaris dua. Lagu Jali-Jali menjadi wadah pantun, semua pantun berbaris empat
dapat digunakan sebagai teks lagu ini – kecuali teks penutup yang harus menggunakan
pantun dua baris. Bahasa yang dipakai adalah bahasa budaya yang mengembangkannya
dan biasanya kata-kata pada sampiran menggunakan kata yang akrap dengan lingkungan
budaya itu dalam hal ini budaya Betawi, misalnya kata Pasar Baru dan Cikini. Karena
Jali-Jali sangat luwes maka seperti biasanya tidak hanya dibawakan dalam satu genre
musik saja yaitu genre musik Melayu, tetapi beberapa genre seperti kroncong, dan
sebagainya ikut ambil bagian.


Kalau ada jarum yang patah
Janganlah disimpan di atas peti
Kalaulah ada kata yang salah
Janganlah disimpan di dalam hati

Jalilah jali dari Cikini
Jalilah jali sampai di sini

(Hastanto [trans] 14 Okt-2012, Jesscameijer2 [uploader] 4 Okt 2008


Sama dengan sifat Lagu Jali-Jali di Betawi juga ada format lagu yang lain yang
dapat menggunakan berbagai pantun berbaris empat:

Format Lagu Kicir-kicir
Kicir-kicir ini lagunya
Lagu lama dari Jakarta
Saya menyanyi memang sengaja
Untuk menghibur hati yang luka
(Hastanto [trans] 14 Okt-2012, Gary Tator [uploader] 4 Okt 2008

Salah satu lagu dari genre musik kroncong yang sangat terkenal yaitu Kroncong
Kemayoran juga lahir di daerah budaya Betawi. Inti teksnya tidak lain adalah bentuk
pantun, namun karena kepopulerannya yang luar biasa maka Kroncong Kemayoran idak
hanya milik Betawi melainkan sudah meramba menjadi salah satu music pan Indonesia
Demikian pula dengan seni tradisi berbalas pantun. Tradisi itu tersebar di Nusan-
tara. Ketika prosesi pengantin priya Betawi mendatangi rumah fihak pengantin
perempuan, yang disebut upacara Buka Palang Pintu selalu diantar dengan musik
Tanjidor atau musik tradisi Betawi lainnya disertai dengan jawara silat. Menjelang masuk
kawasan rumah pengantin perempuan dihadanglah rombongan ini oleh rombongan pihak
perempuan dan tidak ketinggalan membawa jawara silat juga. Terjadilah tantang-
tantangan yang intinya rombongan pengantin priya tidak boleh masuk sebelum me-
ngalahkan jawara pihak perempuan. Tantang-tantangan ini dilakukan dengan berbalas
pantun, yang tentunya menggunakan bahasa Betawi, misalnya:

Kude lumping dari Malabar,
Sakit kepale kayak dipalu
pasang kuping lu lebar-lebar,
jawara gue adepin dulu

Burung dekuku mandi lautan
Makan cereme dicampur madu
Kalau itu jadi persyaratan
Jawara ane siap diadu

Di Jawa (Jawa Tengah) terdapat puisi tradisonal yang disebut parikan – dari kata
pari – yang berarti „padi‟, yang dalam Bahasa Jawa Krama-nya „pantun’. Parikan ini
mempunyai aturan pokok sama dengan pantun Melayu. Dalam parikan juga ada “sampir-
an” dan ada isi yang termuat dalam baris yang berbeda, antara sampiran dan isi mempu-
nyai hubungan rima misalnya:

Brambang saksèn telu
Berjuang dimèn bersatu
Brambang saksèn lima
Berjuang labuh Negara

(Jineman Ulerkambang [NN])

Brambang saksèn telu berarti bawang merah satu sen mendapat tiga butir
Berjuang dimen bersatu berarti berjuang agar bersatu
Brambang saksèn lima berarti brambang – bawang merah – satu sen mendapat lima butir
Berjuang labuh negara, berarti berjuang untuk berbakti kepada negara

Pada dasarnya ada dua bentuk parikan Jawa seperti juga pantun Melayu, yang
pertama parikan yang terdiri dari dua baris; baris yang pertama sampiran dan baris kedua
isi. Bentuk yang kedua terdiri dari empat baris, dua baris pertama sampiran dan dua baris
terakhir merupakan isi. Contoh di atas termasuk bentuk yang pertama yang dalam Gen-
ding Ulerkambang dua parikan disajikan berturut-turut sehingga kelihatannya seperti em-
pat baris. Parikan bentuk pertama kecuali digunakan sebagai teks gending sejenis Jinem-
an, juga digunakan untuk senggakan3 seperti misalnya:

Ngétan bali ngulon
Apa sedyané kelakon
(Senggakan Asmaradana Kethoprakan)

Ketimur kembali kebarat.
Apa yang diidam-idamkan tercapai

Bentuk kedua parikan dengan empat baris sering dijadikan gending mandiri yang
di dalam gamelan Jawa termasuk gending kecil seperti misalnya, gending Ijo-Ijo tertera di
bawah ini:

Ijo-ijo godhong bayem
Enaké dibumbu trasi
Duwé bojo atiné ayem
Saben dina ana sing ngancani

(Hijau-hijau daun bayam.
Enaknya dibumbui terasi
Punya suami hati jadi tenteram
Tiap hari ada yang menemani)

Tradisi mirip berbalas panun juga dapat dijumpai di Jawa, dalam kesenian keto-
prak, “duel” ini dilakukan dengan menggunakan tembang macapat4 yang dilagukan dan
diiringi gamelan lengkap. Padahal sebuah tembang bisa terdiri dari enam sampai sepuluh
baris. “Pertempuran” karya sastra ini terjadi dalam adegan, misalnya adegan sebuah kera-
jaan. Raja membuka percakapan kepada patihnya dengan menyanyikan sebuah tembang
yang dikarang spontan isinya menanyakan bagaimana keadaan kerajaan saat ini. Pada saat

3 Selingan teks pokok
4 Tembang Macapat adalah salah satu jenis puisi tradisional Jawa yang mempunyai
aturan sangat ketat. Dalam budaya ini terdapat 11 format tembang macapat yang
masing-masing mempunyai aturannya sendiri-sendiri.

„raja” menyajikan tembangnya, “sang patih” memutar otak menyusun tembang dengan
matra yang sama seperti matra yang dilagukan oleh sang raja sebagai jawabannya nanti.
Setelah raja selesai maka patihpun menjawab dengan tembangnya pula yang disusun
spontan. Misalnya menggunakan tembang Mijil – salah satu dari 11 tembang macapat –
yang mempunyai aturan sebagai berikut.
10 – i, 6 – o, 10 – e, 10 – i, 6 – i, 6 – u.

Format Mijil harus terdiri dari 6 baris; baris pertama harus berisi 10 suku kata dan
diakhiri dengan kata yang berhuruf hidup “i” (di atas dilambangkan 10-i); baris kedua ha-
rus terdiri dari 6 suku kata dengan akhir kata yang berhuruf hidup “o”, demikian dan sete-
rusnya. Sang raja menyusun on the spot dan sang patih harus menjawab dengan menyu-
sun on the spot juga. Ini seperti berbalas pantun tetapi lebih rumit karena aturan puisinya
cukup rumit.

Di atas pentas sering kali terjadi gurauan, misalnya “sang raja” ingin ngerjain
rekan mainnya yang saat itu berperan sebagai patih, ia mengarang teks tembang Mijilnya
tidak penuh 6 baris tetapi ia selesaikan dalam 3 lalu mendadak meminta “patih” untuk
menjawab, maka patih yang sudah mengarang jawaban mulai dari baris pertama sampai
ke enam menjadi buyar, dalam waktu sekejap harus mengarang baris keempat, kelima dan
keenam dengan ketentuan yang sudah dipastikan. Dalam hati “sang patih” mesti meng-
umpat. Tetapi bukan “patih” ketoprak kalau tidak dapat membalas “raja”nya, Ia menga-
rang teks jawaban tidak hanya sampai baris ke-6, tetapi masih disambung baris pertama
bait berikutnya, lalu dengan serta merta ia minta “raja” memberi petunjuk seketika, tentu
saja sang raja jadi klabakan harus mengarang teks secara kilat untuk “memberi petunjuk”
kepada patihnya. Itulah sence of humor pemain ketoprak Jawa. Penontonpun spontan
bertepuk tangan menghargai kemahiran mereka yang duel sastera di atas panggung. Sa-
yang peristiwa seperti ini sudah jarang terjadi. Walaupun pemain bersilat lidah luar biasa
di atas pentas, tidak ada respon dari penonton karena mereka sudah tidak memahami hu-
kum tembang lagi.

Parikan juga merupakan teks utama dalam gending Jawatimuran terutama gen-
ding Jula-Juli misalnya:

Manuk cocak dinggo pamèran
Libur bakda nèng Tamansiwa
Dadi tukang bécak aja gègèran
Ndak ora béda karo mahasiswa

Burung cocak untuk pameran
Libur lebaran di Tamansiswa
Jadi tukang becak jangan berantem
Supaya jangan sama dengan mahasiswa

(Parikan ini berisi petuah sekaligus sindiran)

Demikianlah hubungan parikan Jawa dengan pantun Melayu (dalam bahasa Jawa
pari bahasa ngoko, sedangkan pantun bahasa Jawa krama). Pantun Melayu dan parikan
Jawa ternyata secara linguistik mempunyai persamaan arti dan dalam sastera mempunyai
aturan main yang sama.

Demikian sekilas ulasan sangat singkat tentang pantun Melayu yang merambah di
seluruh Nusantara. Ini hanya sekelumit pantun Melayu. Jadi dapat dibayangkan kalau
semua unsur budaya Melayu yang diulas akan merupakan monograf tebal tersendiri.

Terima kasih

DAFTAR ACUAN



Abdurrahman, H.Muh. Nur. “Pantun Bugis” Biginese Blog Milis. Juli 13, 2006, diunduh
18 Oktober 2012
Ang Ban Cong. “Pantun Makasar” latamaosandi.blog.com. 02-05-2010, diunduh 18
Oktober 2012.
Arsyad Indradi. Bait ke-5 “Pantun Banjar” pantun banjar.bogspot.com. 23 Desember
2011 diunduh 18-Oktober 2012
Fromthetreetops (uploader) “Ijo-Ijo”. youtube.com. 10 Mei 2008, diunduh 14 Oktober
2012
Gary Tator (uploader).” Kicir-kicir”. youtube.com . 23 April 2009, diunduh 14 Oktober
2012
Goodlooking (uploader), “Lakmana Raja di Laut”. youtube.com. 4 Okt 2008, diunduh 14
Oktober 2012
Hastanto, Sri. Musik Tradisi Nusantara, Jakarta: Diputi Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata, 2005
Hastanto, Sri. “Peta Budaya Nusantara”, Laporan Penelitian. Surakarta: Institut Seni
Indonesia, 2010
Jessicameijer2 (uploader). Jali-Jali. Youtube.com 19 November 2007, diunduh 14
Oktober 2012
Kurnia, Jr. “Pantun” Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka,
1990:234
N.N. “Jineman Uler Kambang”          Surakarta: Lokananta, n.d.
N.N. “Senggakan”, Gending Kasmaran.Surakarta: Lokananta, n.d.
Melalatoa, M. Yunus. “Melayu” Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT Cipta Adi
Pustaka, 1990:231-23
Payakumbuh (uploader). “Babendi-bendi”. youtube.com. 12 Maret 2008, diunduh 14
Oktober 2012
Srimahligai (uploader). “Jali-Jali”. youtube.com. 13 Oktober 2007, diunduh 14 Oktober
2012

2 komentar:

  1. bagaimana pula dengan perkembangan kebudayaan tarian melayu dalam budaya nusantara

    BalasHapus
  2. bagaiman dengan perkembangan melayu terhadap musik perunggu, logam dan tembaga dinusantara

    BalasHapus