Oleh
Sri Hastanto
Melayu
merupakan sebutan kelompok sosial yang bermukim di beberapa Negara Asia
Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Pilipina, Indonesia dan lain-lain. Sebagai
budaya, melayu mempunyai sejarah yang sangat panjang mulai dari migrasi
besar-besaran 2500 – 1500 SM yang kemudian disebut Proto Melayu. Kemudian
disusul dengan gelombang kedua antara 300 SM yang kemudian disebut Deitro
Melayu, kemudian terjadi
percampuran
dengan berbagai budaya yang bersinggungan, menghasilkan budaya-budaya
baru
termasuk budaya Betawi (Melalatoa, 1990:231-232). Sehingga budaya Betawi,
Sunda,
Jawa, Bali dan lain sebagainya menurut logika mempunyai kaitan dengan
budayaya
Melayu.
Beberapa
ahli budaya sering mengutarakan bahwa budaya meliputi tujuh unsur di
antaranya
bahasa, adat, seni dan lain sebagainya. Tetapi ada pula untuk pegangan kerja –
sewaktu
meristis Peta Budaya Nusantara – Hastanto mengelompokkan unsur budaya itu
menjadi
sebilan yaitu: bahasa, upacara adat, busana adat, kesenian, peralatan hidup,
permainan/
olahraga tradisional, asitektur tradisional, kearifan lokal, dan kuliner (Has-
tanto,
2010). Bila budaya yang dimaksud dalam judul pemberian panitia seperti itu,
maka
“Pengaruh
Kebudayaan Melayu dalam Pembentukan Seni Budaya Lokal Nusantara”
merupakan
tugas yang maha berat bagi penulis. Baru melihat unsur budaya yang sembilan
buah
itu sudah merupakan volume yang sangat berat belum lagi ditambah dengan kata
“Nusantara”
maka tugas itu jelas tidak dapat dipikul oleh penulis.
Oleh
sebab itu penulis akan mengambil salah satu karya budaya Melayu yang
mempunyai
andil sangat besar atau mempunyai kemiripan – jadi berkaitan erat – dengan
budaya
seni pertunjukan di beberapa daerah Nusantara. Karya budaya Melayu itu adalah
“pantun”
Ke
teluk sudah, ke Siam sudah
Ke
Mekah sahaja saya belum
Berpeluk
sudah, bercium sudah
Bernikah
sahaja saya belum
(Kurnia,
1990:234)
Pengaruh
dan Kemiripan Pantun
dalam
Seni Pertunjukan di Nusantara
Pantun
adalah karya sastera Melayu yang sangat terkenal, medium sastera adalah
bahasa.
Andai kata budaya itu sebuah pesawat udara, maka bahasa adalah “kotak
hitamnya”.
Karya dan kebiasaan budaya apa saja dari sebuah suku bangsa tentu terekam
di
dalam bahasanya. Oleh sebab itu bila suatu suku bangsa sudah tidak lagi
mengenal
bahasanya
dengan baik maka sebenarnya lonceng kematian budayanya sudah berdentang.
Bahasa
Melayu sebagai lingua franca ternyata mempunyai ketahanan yang luar biasa.
Banyak
bahasa daerah yang mulai mempunyai jarak dengan penuturnya tetapi tidak
demikian
dengan bahasa Melayu yang justru telah digunakan sebagai Induk bahasa
berbagai
bangsa. Jadi dengan demikian budaya Melayu juga mempunyai ketahanan yang
lebih
dari beberapa bahasa daerah di Nusantara ini.
Di
antara puisi Melayu lainnya pantun merupakan puisi Melayu yang paling
terkenal.
Asal muasal kata pantun masih kontroversial, sebagian mengatakan dari kata
Minangkabau
patuntun yang berarti tuntunan, ada yang berpendapat berhubungan dengan
kata
Jawa (basa Jawa krama) pantun yang berarti padi atau pari (basa Jawa ngoko),
ada
juga
yang menganalisis dari kata pantun yang berarti umpama.
Dinegeri
asalnya ia sering dijadikan nyanyian mandiri seperti misalnya lagu beri-
kut
ini:
Babendi-bendi
ke Sungai Tanang (aduh hai sayang)
Babendi-bendi
Ke
Sungai Tanang (aduh hai sayang)
Singgahlah
memetik, singgahlah memetik, bungo lembayung
Singgahlah
memetik, singgahlah memetik, bungo lembayung
Hati
siapo, indak kan senang (aduh hai sayang)
Hati
siapo
Indak
kan senang (aduh hai sayang)
Meliaik
rang mudo, meliaik rong mudo, menari payung
Meliaik
rang mudo, meliaik rong mudo, menari payung
(Hastanto
[trans] 14 Okt 2012, Payakumbuh [uploader] 12 Maret 208)
Kata-kata
yang ada di dalam tanda kurung adalah sisipan teks pokok, sedangkan
kata-kata
yang dicetak miring adalah ulangan. Jadi kalau keduanya dihapus menjadi jelas
sebuah
pantun empat bars:
Babendi-bendi
ke Sungai Tanang
Singgahlah
memetik, bungo lembayung
Hati
siapo, indak kan senang
Meliaik
rang mudo, menari paying
Di
tanah Melayu yang sarat dengan pantun sudah sewajarnya memiliki banyak
produk
budaya yang bersumberkan dari pantun. Tidak ketinggalan dangdut gaya melayu
atau
lagu melayu bergaya dangdut juga menjamur di daerah ini. Salah satu lagu itu
yang
terkenal
adalah Laksmana Raja di Laut. Terkenal bukan karena pernah menjadi heboh di
tahun
2004 – 2007 tetapi memang lagunya memancarkan kemelayuannya secara kental.
Teks
lagu yang dipopulerkan oleh Iyeth Bustami ini berbentuk puisi tradisional
Melayu
„pantun‟
kecuali bagian introduction-nya saja, dan teks yang sangat terkenal adalah di
bagian
refrain sehingga digunakan sebagai judul lagu:
Laksmana
Raja di Laut
Bersemayan
di Bukit Batu
Hati
siapa yang tidak terpaut
Mendengar
lagu zapin Melayu
(Hastanto
[trans] 14 Okt-2012 goodlooking [uploader] 4 Okt 2008
Pantun
mempunyai sebaran sangat luas. Hampir setiap kantong budaya memliki
pantunnya
masing-masing. Di pulau Sumatra jelas bertebaran dari Aceh sampai ke
Lampung,
di Jawa Barat jenis karya sastera ini disebut paparikan1tersebar dari Banten,
Priyangan,
Karawang, sampai Cirebon. Di Jawa Tengah dikenal dengan nama parikan
mewarnai
berbagai macam seni pertunjukan baik di dalam daerah budaya kraton maupun
luar
kraton dan pesisiran. Di daerah budaya ini juga tumbuh karya sastera semacam
parikan
tetapi mempunyai persyaratan yang lebih berat lagi, karya sastera itu disebut
wangsalan.
Parikan di Jawa Timur daerah budaya Mojokertoan, Jombangan, Malangan,
dan
Surabayan, merupakan teks utama dalam kesenian khas mereka yang disebut Jula-
Juli.
Di Bali juga mengenal pantun dengan nama sama seperti di daerah Pasundan yaitu
paparikan.
Daerah budaya Banjar di Kalimantan juga mempunyai jenis pantun. Daerah
budaya
Sumawa di Sumbawa di dalam lawas2-nya juga terdapat bentuk puisi yang pada
dasanya
adalah pantun, yang digunakan antara lain dalam seni Sakeco yang bentuknya
seperti
berbalas pantun. Tidak ketinggalan daerah budaya Makassar, dan Bugis terkenal
dengan
Patun Makassar dan Pantun Bugisnya.. Dengan luasnya sebaran pantun seperti
tertera
di atas kiranya tidak mungkin semuanya diulas. Di sini penulis hanya mampu
mengulas
secara garis besar pantun di beberapa daerah budaya.
1
Di Tanah Sunda kata “pantun” mempunyai arti yang sangat berbeda dengan pantun
Melayu.
Pantun Sunda adalah resitasi ceritera rakyat Pasundan disajikan secara oral
oleh
seornag juru pantun dengan memetik kecapai sebagai musiknya, ceritera yang
dibawakan
secara recital ini dapat berlangsung semalam suntuk.
2
Lawas adalah seni sastera di daerah budaya Sumawa di Pulau Sumbawa
Di
dalam budaya Betawi misalnya, pantun juga membentuk lagu di dalam Budaya
ini
bahkan sebuah format lagu. Artinya format melodi yang sama diisi teks dengan
berbagai
pantun yang isinya sesuai dengan kehendak penyaji, apakah ingin menyindir,
atau
memuji, atau sekedar menggambarkan suasana sekitar atau menggunakan pantun
yang
sudah terbiasa digunakan. Sehingga sesuai dengan kaidah seni tradisi, seniman
boleh
berkreasi bebas berekspresi asal tidak keluar dari format tradisinya. Berikut
adalah
salah
satu contohnya:
Format
Lagu Jali-jali
Jalan-jalan
ke Pasar Baru
Janganlah
lupa beli rambutan
Palinglah
enak penganten baru
Masuk
ke kamar . . . (tidak terdengar)
Jalilah
jali dari Cikini
Jalilah
jali sampai di sini
(Hastanto
[trans] 14 Okt-2012 Sri Mahligai [uploader] 13 Okt 2007
Di
sini kita jumpai dua bentuk pantun sekaligus yaitu pantun berbaris empat dan
pantun
berbaris dua. Lagu Jali-Jali menjadi wadah pantun, semua pantun berbaris empat
dapat
digunakan sebagai teks lagu ini – kecuali teks penutup yang harus menggunakan
pantun
dua baris. Bahasa yang dipakai adalah bahasa budaya yang mengembangkannya
dan
biasanya kata-kata pada sampiran menggunakan kata yang akrap dengan lingkungan
budaya
itu dalam hal ini budaya Betawi, misalnya kata Pasar Baru dan Cikini. Karena
Jali-Jali
sangat luwes maka seperti biasanya tidak hanya dibawakan dalam satu genre
musik
saja yaitu genre musik Melayu, tetapi beberapa genre seperti kroncong, dan
sebagainya
ikut ambil bagian.
Kalau
ada jarum yang patah
Janganlah
disimpan di atas peti
Kalaulah
ada kata yang salah
Janganlah
disimpan di dalam hati
Jalilah
jali dari Cikini
Jalilah
jali sampai di sini
(Hastanto
[trans] 14 Okt-2012, Jesscameijer2 [uploader] 4 Okt 2008
Sama
dengan sifat Lagu Jali-Jali di Betawi juga ada format lagu yang lain yang
dapat
menggunakan berbagai pantun berbaris empat:
Format
Lagu Kicir-kicir
Kicir-kicir
ini lagunya
Lagu
lama dari Jakarta
Saya
menyanyi memang sengaja
Untuk
menghibur hati yang luka
(Hastanto
[trans] 14 Okt-2012, Gary Tator [uploader] 4 Okt 2008
Salah
satu lagu dari genre musik kroncong yang sangat terkenal yaitu Kroncong
Kemayoran
juga lahir di daerah budaya Betawi. Inti teksnya tidak lain adalah bentuk
pantun,
namun karena kepopulerannya yang luar biasa maka Kroncong Kemayoran idak
hanya
milik Betawi melainkan sudah meramba menjadi salah satu music pan Indonesia
Demikian
pula dengan seni tradisi berbalas pantun. Tradisi itu tersebar di Nusan-
tara.
Ketika prosesi pengantin priya Betawi mendatangi rumah fihak pengantin
perempuan,
yang disebut upacara Buka Palang Pintu selalu diantar dengan musik
Tanjidor
atau musik tradisi Betawi lainnya disertai dengan jawara silat. Menjelang masuk
kawasan
rumah pengantin perempuan dihadanglah rombongan ini oleh rombongan pihak
perempuan
dan tidak ketinggalan membawa jawara silat juga. Terjadilah tantang-
tantangan
yang intinya rombongan pengantin priya tidak boleh masuk sebelum me-
ngalahkan
jawara pihak perempuan. Tantang-tantangan ini dilakukan dengan berbalas
pantun,
yang tentunya menggunakan bahasa Betawi, misalnya:
Kude
lumping dari Malabar,
Sakit
kepale kayak dipalu
pasang
kuping lu lebar-lebar,
jawara
gue adepin dulu
Burung
dekuku mandi lautan
Makan
cereme dicampur madu
Kalau
itu jadi persyaratan
Jawara
ane siap diadu
Di
Jawa (Jawa Tengah) terdapat puisi tradisonal yang disebut parikan – dari kata
pari
– yang berarti „padi‟, yang dalam Bahasa Jawa Krama-nya „pantun’. Parikan ini
mempunyai
aturan pokok sama dengan pantun Melayu. Dalam parikan juga ada “sampir-
an”
dan ada isi yang termuat dalam baris yang berbeda, antara sampiran dan isi
mempu-
nyai
hubungan rima misalnya:
Brambang
saksèn telu
Berjuang
dimèn bersatu
Brambang
saksèn lima
Berjuang
labuh Negara
(Jineman
Ulerkambang [NN])
Brambang
saksèn telu berarti bawang merah satu sen mendapat tiga butir
Berjuang
dimen bersatu berarti berjuang agar bersatu
Brambang
saksèn lima berarti brambang – bawang merah – satu sen mendapat lima butir
Berjuang
labuh negara, berarti berjuang untuk berbakti kepada negara
Pada
dasarnya ada dua bentuk parikan Jawa seperti juga pantun Melayu, yang
pertama
parikan yang terdiri dari dua baris; baris yang pertama sampiran dan baris
kedua
isi.
Bentuk yang kedua terdiri dari empat baris, dua baris pertama sampiran dan dua
baris
terakhir
merupakan isi. Contoh di atas termasuk bentuk yang pertama yang dalam Gen-
ding
Ulerkambang dua parikan disajikan berturut-turut sehingga kelihatannya seperti
em-
pat
baris. Parikan bentuk pertama kecuali digunakan sebagai teks gending sejenis
Jinem-
an,
juga digunakan untuk senggakan3 seperti misalnya:
Ngétan
bali ngulon
Apa
sedyané kelakon
(Senggakan
Asmaradana Kethoprakan)
Ketimur
kembali kebarat.
Apa
yang diidam-idamkan tercapai
Bentuk
kedua parikan dengan empat baris sering dijadikan gending mandiri yang
di
dalam gamelan Jawa termasuk gending kecil seperti misalnya, gending Ijo-Ijo
tertera di
bawah
ini:
Ijo-ijo
godhong bayem
Enaké
dibumbu trasi
Duwé
bojo atiné ayem
Saben
dina ana sing ngancani
(Hijau-hijau
daun bayam.
Enaknya
dibumbui terasi
Punya
suami hati jadi tenteram
Tiap
hari ada yang menemani)
Tradisi
mirip berbalas panun juga dapat dijumpai di Jawa, dalam kesenian keto-
prak,
“duel” ini dilakukan dengan menggunakan tembang macapat4 yang dilagukan dan
diiringi
gamelan lengkap. Padahal sebuah tembang bisa terdiri dari enam sampai sepuluh
baris.
“Pertempuran” karya sastra ini terjadi dalam adegan, misalnya adegan sebuah
kera-
jaan.
Raja membuka percakapan kepada patihnya dengan menyanyikan sebuah tembang
yang
dikarang spontan isinya menanyakan bagaimana keadaan kerajaan saat ini. Pada
saat
3
Selingan teks pokok
4
Tembang Macapat adalah salah satu jenis puisi tradisional Jawa yang mempunyai
aturan
sangat ketat. Dalam budaya ini terdapat 11 format tembang macapat yang
masing-masing
mempunyai aturannya sendiri-sendiri.
„raja”
menyajikan tembangnya, “sang patih” memutar otak menyusun tembang dengan
matra
yang sama seperti matra yang dilagukan oleh sang raja sebagai jawabannya nanti.
Setelah
raja selesai maka patihpun menjawab dengan tembangnya pula yang disusun
spontan.
Misalnya menggunakan tembang Mijil – salah satu dari 11 tembang macapat –
yang
mempunyai aturan sebagai berikut.
10
– i, 6 – o, 10 – e, 10 – i, 6 – i, 6 – u.
Format
Mijil harus terdiri dari 6 baris; baris pertama harus berisi 10 suku kata dan
diakhiri
dengan kata yang berhuruf hidup “i” (di atas dilambangkan 10-i); baris kedua
ha-
rus
terdiri dari 6 suku kata dengan akhir kata yang berhuruf hidup “o”, demikian
dan sete-
rusnya.
Sang raja menyusun on the spot dan sang patih harus menjawab dengan menyu-
sun
on the spot juga. Ini seperti berbalas pantun tetapi lebih rumit karena aturan
puisinya
cukup
rumit.
Di
atas pentas sering kali terjadi gurauan, misalnya “sang raja” ingin ngerjain
rekan
mainnya yang saat itu berperan sebagai patih, ia mengarang teks tembang
Mijilnya
tidak
penuh 6 baris tetapi ia selesaikan dalam 3 lalu mendadak meminta “patih” untuk
menjawab,
maka patih yang sudah mengarang jawaban mulai dari baris pertama sampai
ke
enam menjadi buyar, dalam waktu sekejap harus mengarang baris keempat, kelima
dan
keenam
dengan ketentuan yang sudah dipastikan. Dalam hati “sang patih” mesti meng-
umpat.
Tetapi bukan “patih” ketoprak kalau tidak dapat membalas “raja”nya, Ia menga-
rang
teks jawaban tidak hanya sampai baris ke-6, tetapi masih disambung baris
pertama
bait
berikutnya, lalu dengan serta merta ia minta “raja” memberi petunjuk seketika,
tentu
saja
sang raja jadi klabakan harus mengarang teks secara kilat untuk “memberi
petunjuk”
kepada
patihnya. Itulah sence of humor pemain ketoprak Jawa. Penontonpun spontan
bertepuk
tangan menghargai kemahiran mereka yang duel sastera di atas panggung. Sa-
yang
peristiwa seperti ini sudah jarang terjadi. Walaupun pemain bersilat lidah luar
biasa
di
atas pentas, tidak ada respon dari penonton karena mereka sudah tidak memahami
hu-
kum
tembang lagi.
Parikan
juga merupakan teks utama dalam gending Jawatimuran terutama gen-
ding
Jula-Juli misalnya:
Manuk
cocak dinggo pamèran
Libur
bakda nèng Tamansiwa
Dadi
tukang bécak aja gègèran
Ndak
ora béda karo mahasiswa
Burung
cocak untuk pameran
Libur
lebaran di Tamansiswa
Jadi
tukang becak jangan berantem
Supaya
jangan sama dengan mahasiswa
(Parikan
ini berisi petuah sekaligus sindiran)
Demikianlah
hubungan parikan Jawa dengan pantun Melayu (dalam bahasa Jawa
pari
bahasa ngoko, sedangkan pantun bahasa Jawa krama). Pantun Melayu dan parikan
Jawa
ternyata secara linguistik mempunyai persamaan arti dan dalam sastera mempunyai
aturan
main yang sama.
Demikian
sekilas ulasan sangat singkat tentang pantun Melayu yang merambah di
seluruh
Nusantara. Ini hanya sekelumit pantun Melayu. Jadi dapat dibayangkan kalau
semua
unsur budaya Melayu yang diulas akan merupakan monograf tebal tersendiri.
Terima
kasih
DAFTAR
ACUAN
Abdurrahman,
H.Muh. Nur. “Pantun Bugis” Biginese Blog Milis. Juli 13, 2006, diunduh
18
Oktober 2012
Ang
Ban Cong. “Pantun Makasar” latamaosandi.blog.com. 02-05-2010, diunduh 18
Oktober
2012.
Arsyad
Indradi. Bait ke-5 “Pantun Banjar” pantun banjar.bogspot.com. 23 Desember
2011
diunduh 18-Oktober 2012
Fromthetreetops
(uploader) “Ijo-Ijo”. youtube.com. 10 Mei 2008, diunduh 14 Oktober
2012
Gary
Tator (uploader).” Kicir-kicir”. youtube.com . 23 April 2009, diunduh 14
Oktober
2012
Goodlooking
(uploader), “Lakmana Raja di Laut”. youtube.com. 4 Okt 2008, diunduh 14
Oktober
2012
Hastanto,
Sri. Musik Tradisi Nusantara, Jakarta: Diputi Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata,
2005
Hastanto,
Sri. “Peta Budaya Nusantara”, Laporan Penelitian. Surakarta: Institut Seni
Indonesia,
2010
Jessicameijer2
(uploader). Jali-Jali. Youtube.com 19 November 2007, diunduh 14
Oktober
2012
Kurnia,
Jr. “Pantun” Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka,
1990:234
N.N.
“Jineman Uler Kambang” Surakarta:
Lokananta, n.d.
N.N.
“Senggakan”, Gending Kasmaran.Surakarta: Lokananta, n.d.
Melalatoa,
M. Yunus. “Melayu” Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT Cipta Adi
Pustaka,
1990:231-23
Payakumbuh
(uploader). “Babendi-bendi”. youtube.com. 12 Maret 2008, diunduh 14
Oktober
2012
Srimahligai
(uploader). “Jali-Jali”. youtube.com. 13 Oktober 2007, diunduh 14 Oktober
2012
bagaimana pula dengan perkembangan kebudayaan tarian melayu dalam budaya nusantara
BalasHapusbagaiman dengan perkembangan melayu terhadap musik perunggu, logam dan tembaga dinusantara
BalasHapus