Rabu, 12 Desember 2012
document
salah satu motif kerawang gayo yang terdapat di aceh tengah
danau laut aceh tengah
nelayan yang sedang mencari ikan depik di danau laut tawar
ton waih atau tempat air yang di buat dengan kain yang di hiasi dengan motif kerawang gayo, dan ini merupakan salah satu kerajinan kerawang gayo aceh tengah
umah edet pitu ruang aceh tengah
depik pengat ala gayo
peran sastra melayu dalam pembentukan karakter bangsa
Oleh:
Suryadi
Pendahuluan
Sastra
dan pembangunan bangsa (literature and nation-building) adalah salah satu
wacana
yang
sudah lama menjadi topik diskusi dalam dunia akademik. Khusus di negara-negara
bekas
jajahan Eropa di Asia, Afrika dan Amerika Latin, sastra sering dianggap telah
ikut
memberikan
kontribusi penting dalam melahirkan kesadaran nasional di kalangan kaum
pribumi
yang akhirnya berhasil menjungkalkan hegemoni para penjajah di negeri mereka.
Umumnya
founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-
intelektual
pribumi yang memperoleh semangat anti penjajahan melalui bacaan-bacaan sastra
yang
justru berasal dari khazanah sastra Eropa sendiri. Fenomena ini juga terlihat
di negara-
negara
pasca kolonial di dunia Melayu, khususnya Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Banyak
intelektual
pribumi penentang penjajajahan bangsa-bangsa asing di negeri mereka adalah
pembaca
karya-karya sastra dan banyak juga memproduksinya tempat mereka menanam dan
menggelorakan
semangat nasionalisme bangsanya untuk membebaskan diri mereka dari
belenggu
penjajahan. Sejarah telah mencatat bahwa Angkatan 45 di Indonesia (lihat:
Heinschke
1993) atau Angkatan Sasterawan „50 (atau Asas „50) di Semenanjung Malaya
(lihat:
Hoilul Amri bin Tahiran et al. 2005), misalnya, telah memainkan perannya
sebagai
motor
penggerak dalam menggelorakan semangat nasionalisme dan membangun rasa
kebangsaan
di dunia Melayu pada paroh pertama abad ke-20.
Makalah
ini mendiskusikan potensi sastra Melayu dalam pembentukan karakter
bangsa-bangsa
di dunia Melayu dan semangat kemelayuan supranasional. Istilah „sastra
Melayu‟
dalam konteks ini diartikan agak lebih luas, yang tidak hanya menyangkut zaman
lampau
(klasik), tapi juga zaman modern. Saya akan melakukan tinjauan historis untuk
menapaktilasi
peran yang telah dimainkan oleh dunia sastra di zaman kolonial dan pasca
kemerdekaan
negara-bangsa di dunia Melayu, dan proyeksinya di masa depan, dengan
Makalah
pada Seminar Internasional dan Festival Seni Melayu Asia Tenggara
„Rediscovering the Treasures of
Malay
Culture‟ yang diselenggarakan oleh Institut Seni Indonesia Padangpanjang,
Sumatra Barat, 25-29
November
2012.
2
Dosen/peneliti kajian bahasa, sastra dan budaya media di Indonesia di Leiden
University Institute for Area
Studies
(LIAS), Leiden, Belanda. Alamat email: s.suryadi@hum.leidenuniv.nl.
mempertimbangkan faktor-faktor kebahasaan (bahasa Melayu/Indonesia) yang terus
mengalami
dinamika dan sastra sendiri sebagai sebuah konvensi wacana yang terus-menerus
pula
berubah sesuai dengan perjalanan waktu, serta aspek-aspek budaya lainnya.
Analisis
tekstual
pada teks-teks sastra tertentu akan dilakukan untuk memperkuat argumen-argumen
yang
dikemukakan.
Perspektif
teori
Hingga
sekarang masih terdapat persilangan pendapat mengenai hubungan antara sastra
dan
proses
nation building dan pembentukan karakter bangsa sebagai bagian dari
nation-building
itu.
Ada yang berpendapat bahwa sastra telah menjadi model dan memberikan gagasan
konkrit
dalam pembangunan bangsa, khususnya di negeri-negeri jajahan Eropa. Sebaliknya,
ada
pendapat yang mengatakan bahwa sastra nasional sebuah bangsa lahir justru
setelah
bangsa
itu wujud. Artinya: sebuah negara-bangsa (nation-state) terbentuk terlebih
dahulu,
baru
kemudian terbentuk sastranya.
Di
Indonesia, perdebatan ini antara lain terefleksi dalam buku Adakah Bangsa dalam
Sastra
yang diedit oleh Abdul Rozak Zaidan dan Dendy Sugondo (2003). Demikianlah
umpamanya,
Budi Darma dalam artikelnya dalam buku itu berpendapat bahwa sastra
bukanlah
penyebab tapi lebih merupakan akibat dari wujudnya bangsa Indonesia yang
memerdekakan
diri dari penjajah tahun 1945. Namun, kajian-kajian lain menunjukkan bahwa
sastra
sangat berperan penting dalam tahap awal pembentukan bangsa Indonesia (Foulcher
1993;
Budianta 2007). Pada tahap itu sastra sudah berperan sebagai salah satu inang
yang
penting
dalam menyemaikan benih nasionalisme di akhir zaman kolonial di Indonesia.
Tidak
berlebihan
jika dikatakan bahwa kadar politik dalam narasi teks-teks sastra Indonesia,
sejak
zaman
Balai Pustaka sampai Angkatan 2000, tetap menonjol, meskipun di sisi lain juga
muncul
gerakan untuk memperjuangan „seni untuk seni‟. Demikianlah umpamanya, puisi-
puisi
Indonesia lebih diramaikan oleh „pamflet-pamflet‟ politik ketimbang
renungan-renungan
yang
individualistik yang membawa sastra sebagai sebuah dunia independen seperti
yang
terjadi
di Barat.
Dalam
sejarah pembentukan negara-bangsa di dunia Melayu, sastra jelas sangat
berperan
penting dalam membangun narasi kebangsaan yang bersifat lintas etnis. Akan
tetapi
proses
nation-building dalam wacana sastra tidak bersifat linear dan singular yang
cenderung
membawa
masyarakat ke satu entitas politik yang bersifat tunggal dan seragam.
Sebaliknya,
ia
menyediakan ruang untuk diskusi dan dialog, bahkan debat, yang terus-menerus
untuk
memperkaya
dan mematangkan imajinasi dan konsepsi tentang bangsa. “[A]s a means for
constructing
a sense of community, literature of […] a heterogeneous society [Indonesia] can
serve
as the sites of competing and conflicting visions [about nation].” (Budianta
2007:57).
Dengan
cara demikian, sastra telah ikut memainkan peran penting dalam menciptakan rasa
memiliki
(sense of belonging) dalam tubuh bangsa-bangsa dalam rumpun Melayu, termasuk
di
Indonesia. Sastra adalah salah satu perangkat lunak yang penting dalam
membentuk
standardisasi
budaya dan perluasan kewarganegaraan dan partisipasi politik masyarakat dalam
proses
pembangunan bangsa di dunia Melayu.
Akar
yang kuat: tradisi sastra Melayu di era aksara Jawi
Para
kolonialis Eropa yang datang ke dunia Melayu mendapati sebuah tradisi sastra
yang
sudah
semula jadi di kawasan ini, dengan aksara Jawi dan bahasa Melayu sebagai wadah
untuk
mengekpresikannya. Tradisi pernaskahan Nusantara itu digerakkan oleh
scriptorium-
scriptorium
yang berbasis di institusi-institusi agama dan istana-istana lokal di dunia
Melayu.
Hal
itu berlangsung paling tidak sejak abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-19.
Selain
itu, repertoar-repertoar tradisi lisan menunjukkan hubungan yang erat antara
berbagai
wilayah di dunia Melayu. Satu teks ditemukan versinya di berbagai daerah,
sebuah
bukti
yang lebih dari cukup untuk menunjukkan kesatuan bangsa Melayu dalam
keragamannya.
Demikianlah umpamanya, ada Kaba Malin Deman dan Anggun Nan Tungga
di
Minangkabau yang variannya di Semenanjung Melayu dikenal sebagai Hikayat Malim
Deman3
dan Hikayat Anggun Cik Tunggal.4 Migrasi puak-puak Melayu yang terjadi sejak
masa
lampau, sebelum para pejajah Eropa datang ke kawasan ini, telah melahirkan
hubungan
budaya
yang erat antara satu daerah dengan daerah lainnya di rantau yang luas ini.
Sekedar
menyebut
contoh, Negeri Sembilan di Malaysia telah lama menjadi tanah perantauan awal
orang
Minangkabau (lihat: Newbold 1835; Idris 1968; Gullick 2003). Demikian juga
halnya
banyak
puak lainnya yang telah berpindah-pindah ke sana ke mari di wilayah Melayu
Nusantara
yang luas ini sambil membawa budayanya sendiri dan mengadopsi budaya
tempatan.
Di masa kemudian perpindahan itu telah didorong pula oleh represi-represi yang
dilakukan
oleh kolonialis. Banyak intelektual dan juga orang awam dari berbagai tempat di
Sumatra
yang berada di bawah tekanan penjajah Belanda terpaksa hijrah ke Semenanjung
3
Untuk versi Minangnya, lihat antara lain Dt. Rajo Panghulu (1989) dan Suryadi
(1998) dan untuk versinya
yang
ditemukan di Semenanjung Malaya, lihat antara lain Winstedt dan Sturrock
(1908).
4
Untuk versi Minangkabau teks ini, lihat misalnya Leiden Cod. Or. 2006 (1)
(Wieringa 1998:224), Mahkota
(1962)
dan analisisnya oleh Phillips (1981). Pemelayuan versi Minangkabau ini
dilakukan oleh Djamin dan
Tasat
(193?). Untuk versinya yang dikenal di Semenanjung Malaya, lihat misalnya
Winstedt (1914).
Malaya
yang berada di bawah kekuasaan kolonialis Inggris yang dianggap lebih baik
kepada
orang
pribumi.
Sejak
1828 teknik percetakan cap batu (lithography) diperkenalkan di dunia Melayu.
Mula-mula
percetakan seperti ini hanya dimiliki oleh pemerintah kolonial dan para
misionaris
Eropa
yang menggunakannya untuk mencetak dokumen-dokumen pemerintah, buku-buku,
atau
terjemahan Injil untuk kepentingan penyebaran agama Kristen di dunia Melayu,
seperti
yang
mereka lakukan di Batavia, Penang dan Melaka. Kemudian kaum pribumi dan
keturunan
Arab
mengadopsinya untuk mencetak buku-buku sendiri yang berbahasa Melayu dan
beraksara
Jawi dalam bentuk kitab, hikayat, dan syair yang isinya sering
merepresentasikan
unsur-unsur
agama Islam (Proudfoot 1983). Umumnya penerbit-penerbit pribumi yang
memakai
teknik cetak (cap) batu muncul itu di beberapa bandar yang penting seperti di
Palembang,
Pulau Penyengat, Singapura, Batavia, dan Surabaya.5 Mendekati akhir abad ke-19
teknik
cap batu digantikan oleh teknologi cetak modern.
Memasuki
paroh kedua abad ke-19 tradisi keberaksaraan cetak yang diperkenalkan
oleh
kolonialis Eropa mulai mempengaruhi kehidupan orang Melayu. Penguasaan
teknologi
percetakan
oleh orang Melayu telah melahirkan budaya membaca buku. Teknologi percetakan
jelas
mampu menggandakan bahan tertulis lebih banyak dan jauh lebih cepat dibanding
teknologi
penyalinan dengan tulisan tangan di era naskah, dengan wilayah jangkauan yang
lebih
luas. Efek percetakan inilah yang kemudian melahirkan tradisi sastra Melayu
awal yang
belum
disekat oleh batas-batas nasionalisme seperti sekarang.
Beberapa
ahli telah membahas peran tradisi percetakan sebagai faktor pencetus
gerakan
nasionalisme di dunia Melayu di mana genre sastra memainkan perang yang
penting.
Penguasaan
tradisi percetakan oleh kaum pribumi telah melahirkan surat kabar pribumi yang
menjadi
„jembatan penghubung‟ komunikasi antara berbagai puak di dunia Melayu, yang
pada
gilirannya memberi kesadaran kepada mereka akan adanya perbedaan dengan subjek
penjajah
(lihat Roff 1967; Anderson 1983; Adam 1995). Menurut Anderson, kapitalisme
cetak
telah memberi ruang untuk menciptakan perasaan partisipasi dan keanggotaan
dalam
sebuah
komunitas yang melewati batas-batas etnis. Para pembaca surat kabar dari kalangan
pribumi
“to whom they were connected through print, formed, in the secular, particular,
visible
invisibility” adalah “the embryo of nationally-imagined communities” (Anderson
1983:47).
5
Lebih jauh mengenai aktifitas percetakan pribumi di dunia Melayu di era
teknologi cap batu, lihat Ritter
(1843),
Dhiel (1990), Gallop (1990). Lihat juga Dewall (1857) dan Peeters (1996)
mengenai Palembang,
Proudfoot
(1993) dan (1998) yang banyak membicarakan penerbit-penerbit pribumi di
Singapura, Kaptein
(1993)
mengenai Surabaya, dan Putten 1997 mengenai Pulau Penyengat, Riau.
Namun,
di sini saya ingin lebih menyorot fungsi industri percetakan pribumi yang
telah
mentransformasikan sistem sastra Melayu sedemikian rupa sehingga ia menjadi
simbol
yang
lebih jelas untuk menunjukkan identitas kaum pribumi sendiri. Hal itu terjadi
seiring
dengan
pengambilalihan fungsi scriptorium institusi-insitusi agama dan istana oleh
industri
percetakan
pribumi tersebut. Dalam konteks ini, aksara Jawi sangat berperan penting untuk
memberi
penanda yang jelas dan karakter yang kuat bagi identitas kemelayuan yang
terkait
dengan
agama Islam. Peminjaman satu aksara selalu bersamaan dengan penyebaran sebuah
tamadun
dari mana aksara itu semula berasal. Meminjam kata-kata Ignace Jay Gelb (1952:
222)
“tulisan hanya berada dalam tamadun, dan tiada tamadun tanpa tulisan.” Aksara
Jawi
yang
diturunkan dari aksara Arab adalah salah satu aksara yang selalu membawa
tamadun
Islam
ke dalam masyarakat manapun yang mengadopsi aksara itu, tak terkecuali di dunia
Melayu
pada zaman lampau (Cho 2012), yang tidak aus oleh jarak geografi dan waktu dari
tempat
asal aksara itu. Pengadopsian aksara Arab inilah yang telah memainkan peranan
jangka
panjang sehingga melekatkan Islam sebagai ciri penting orang Melayu.
Sejarah
sudah mencatat bahwa tradisi sastra Melayu di era aksara Jawi (abad ke-16-
19)
telah menjadi salah satu unsur penting sebagai penanda bangsa Melayu. Hal itu
secara
sadar
atau tidak juga diangkat oleh para sarjana Eropa yang mengkaji teks-teks sastra
Melayu
tersebut.6
Secara langsung atau tidak teks-teks sastra Melayu itu, baik dari genre kitab,
hikayat,
syair, dan lain-lain, telah ikut berperan dalam membentuk sensibilitas budaya
dalam
masyarakat
Melayu. Inilah awal dimana sastra telah ikut memainkan peran dalam membentuk
karakter
orang Melayu dan menjadi penanda pula bagi orang asing untuk menyebut bangsa
Melayu
sebagai kelompok masyarakat yang memiliki tradisi sastra sendiri.
Teks-teks
sastra Melayu di era aksara Jawi beredar dalam wilayah yang luas. Teks-
teks
itu beredar melewati batas-batas administrasi kolonial yang diatur oleh Inggris
dan
Belanda
pada masa itu. Teks-teks seperti itu menjadi lambang kemelayuan dalam arti
luas.
Batas-batas
kenegaraan memang belum ada pada waktu itu, tapi batas-batas administrasi
kolonial
sudah diatur oleh penjajah – suatu usaha
untuk mencabik-cabik identitas
kemelayuan
itu sendiri. Secara hakikat, teks-teks sastra Melayu pada waktu itu seolah
menjadi
simbol
untuk melawan pemgkotakan-pengkotakan administratif yang dibuat oleh para
penjajah
yang mengapling-ngapling dunia Melayu sekehendak hati mereka sendiri. Teks-teks
6
Mengenai
konstruksi pengetahuan tentang dunia Melayu sebagai „the Others‟ oleh para
sasrjana Belanda sejak
zaman
kolonial sampai akhir abad ke-20, lihat Sweeney (2000). Lihat juga Sweeney
(1994) tentang bias
Eropasentris
dalam melihat sastra Melayu di kalangan sarjana Eropa.
sastra
Melayu itu memberikan gerakan resistensi terhadap batas-batas kolonial yang
dibuat
oleh
penjajah itu.
Usaha
para kolonialis untuk menggusur aksara Jawi dengan menggantinya dengan
aksara
Latin merupakan suatu strategi budaya yang sistematis yang dilakukan oleh
penjajah
untuk
mengubah karakter dan budaya masyarakat Melayu. Para penasihat budaya
Pemerintah
Kolonial
yakin bahwa dengan menyingkirkan aksara Jawi dari masyarakat Nusantara,
radikalisme
Islam dapat diminimailisir (lihat misalnya Moriyama 2005 untuk wilayah Sunda),
dan
tentu saja, langsung atau tidak, peran sastra Melayu sebagai simbol pemersatu
orang
Melayu
juga mengalami penggerusan. Melalui aksara Latin kolonialis mengutak-atik
bahasa
Melayu
dan berusaha melakukan standardisasi terhadapnya (lihat Hoffman 1979). Seperti
yang
dapat kita saksikan kemudian, usaha ini boleh dibilang berhasil: sifat kemelayuan
yang
semesta
dari sastra Melayu beraksara Jawi terkikis akibat invasi hebat aksara Latin di
dunia
Melayu.
Ide-ide
tentang kebangsaan dalam Sastra di Zaman Pergerakan
Dengan
semangat yang berbeda dengan zaman aksara Jawi, sastra terus memainkan peranan
dalam
pembentukan bangsa di dunia Melayu. Peran penting sastra sebagai pembangun
karakter
bangsa itu dapat dilihat pula di era 1920-an sampai 1940-an, saat aksara Latin
praktis
telah
mereduksi eksistensi aksara Jawi di dunia Melayu. Banyak teks sastra yang lahir
dari
tangan
para intelektual pribumi di zaman itu yang pada hakikatnya mengandung
pemikiran-
pemikiran
mengenai kebangsaan. Melalui karya-karya mereka, para sastrawan-intelektual itu
mengemukakan gagasan-gagasan mereka mengenai sebuah bangsa merdeka yang
membebaskan
dirinya dari cengkeraman penjajah. Teks-teks sastra itu, secara ekplisit atau
implisit
menawarkan gagasan-gagasan politik dalam upaya membebaskan bangsa Indonesia
dari
belenggu penjajahan dan juga tranformasi-transformasi budaya untuk mewujudkan
sebuah
bangsa merdeka di wilayah yang begitu luas dan beragam dari segi etnis, budaya,
dan
agama.
Banyak teks-teks sastra yang diproduksi oleh para intelektual pribumi pada
waktu itu
mengandung
ide-ide pembebasan, baik politik maupun budaya, dalam rangka menciptakan
sebuah
kesadaran nation yang dicita-citakan untuk masa depan bersama.
Tentu
tidak mungkin untuk mengemukakan seluruh hasil identifikasi mengenai
berbagai
gagasan kebangsaan yang terkandung dalam teks-teks sastra di zaman itu dalam
makalah
yang singkat ini. Saya hanya ingin menunjukkan beberapa aspek yang menonjol di
antaranya, untuk memberikan gambaran bagaimana ide mengenai kebangsaan
direpresentasikan
dalam teks-teks sastra di zaman itu. Saya mencoba melihatnya dalam ranah
dua
genre sastra: puisi dan novel (roman).
Semangat
kebangsaan dalam puisi
Puisi
adalah genre yang sudah sejak awal menunjukkan peran pentingnya dalam
pembentukan
gagasan
mengenai kebangsaan. Dalam konteks ini, tiada contoh yang lebih jelas selain
puisi-
puisi
Chairil Anwar, salah seorang penyair terkemuka Angkatan 45. Saya agak urang
sependapat
denga Keith Foulcher (1993:246) yang menyatakan bahwa Chairil Anwar dan
groupnya
(Angkatan 45) “increasingly found themselves denying the political-ideological
context
in which literature was produced [and] asserted that the autonomy of individual
artist,
free from political movement, the precondition for genuine aesthetic movement”
untuk
mengekspresikan
pandangan mereka tentang „universal humanism‟. Bagi saya, puisi-puisi
Chairil
Anwar seperti “Kerawang-Bekasi”, “Persetujuan dengan Bung Karno”, “Aku”, dan
lain-lain,
justru sarat dengan muatan politik. Puisi-puisi Chairil mampu mengobarkan
semangat
nasionalisme bangsa Indonesia yang baru mekar pada pertengahan tahun 1940-an.
Puisi-puisi
tersebut menyiratkan kesadaran Chairil Anwar untuk mengangkat martabat
bangsanya
yang lama menjadi kawula yang terjajah. Dalam sebuah puisi tanpa judul yang
terbit
dalam majalah Gelanggang (edisi 12 Desember 1948), Chairil mengekspresikan
sikap
revolusionernya
dengan kata (kunci) „bedil‟.
Sudah
dulu lagi terdjadi begini7
Djari
tidak bakal terandjak dati petikan bedil
Djangan
tanja mengapa djari tjari tempat di sini
Aku
tidak tahu tanggal serta alasan lagi
Dan
djangan tanja siapa akan menjiapkan liang penghabisan
Jang
akan terima pusaka: kedamaian antara runtuhan menara
Sudah
dulu lagi, sudah dulu lagi
Djari
tidak bakal terandjak dari petikan bedil.
Bahasa
puisi-puisi Chairil Anwar juga dianggap memberikan corak dan semangat baru
terhadap
bahasa Indonesia. Khairil dianggap mampu melakukan transformasi estetika dalam
perpuisian
Indonesia (Oemardjati 1972). Dalam “Krawang Bekasi” Chairil mengingatkan
untuk
tidak melupakan para pejuang kemerdekaan, agar generasi berikutnya meneruskan
perjuangan
itu dan mengisi kemerdekaan yang telah direbut dari penjajah.
7
Puisi Chairil ini tak sulit ditemukan dalam antologi-antologi puisinya yang
sudah pernah diterbitkan. Kutipan
ini
sendiri didasarkan atas Foulcher (1993:237) karena di KITLV dan
Universiteitsbibliotheek Leiden tidak ada
tersimpan
eksemplar-eksemplar majalah Gelanggang.
Krawang
Bekasi 8
Kami
yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak
bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi
siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang
kami maju dan bendegap hati ?
Kami
bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika
dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami
mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang,
kenanglah kami.
Kami
sudah coba apa yang kami bisa
Tapi
kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami
sudah beri kami punya jiwa
Kerja
belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami
cuma tulang-tulang berserakan
Tapi
adalah kepunyaanmu
Kaulah
lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau
jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan
dan
harapan
atau
tidak untuk apa-apa,
kami
tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah
sekarang yang berkata
Kami
bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika
ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang,
kenanglah kami
Teruskan,
teruskan jiwa kami
Menjaga
Bung Karno
menjaga
Bung Hatta
menjaga
Bung Sjahrir
Kami
sekarang mayat
Berilah
kami arti
Berjagalah
terus di garis batas pernyataan dan impian.
Kenang,
kenanglah kami
yang
tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu
kami terbaring antara Krawang-Bekasi
Chairil
menggugah pembacanya dengan gagasan mengenai kemerdekaan dan upaya untuk
mempertahankannya.
Ia seolah menyalurkan suara kaum muda Indonesia yang memiliki
gejolak
emosi anti kolonial. Orientasi universalisme Chairil tidak mengurangi rasa
cintanya
terhadap
tanah airnya dan pandangan kritisnya terhadap bangsa Barat yang pintar dan
berke
budayaan
tinggi tapi suka menjajah bangsa-bangsa lainnya dan memperbudak sesama
manusia. Chairil menangkap energi dari semangat kemerdekaan generasinya dan 8
Didasarkan atas Liauw dan Jassin (1974):129,131.
mengawetkannya
dalam teks-teks puisinya. Dalam “Persetujuan dengan Bung Karno” ia
merepresentasikan
tekad kaum muda untuk bergandeng bersisian dengan “Putra Sang Fajar”
dan
Bapak Proklamator itu dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia menyerukan
agar
generasinya (generasi muda) dan generasi tua saling bersatu dalam mengisi
kemerdekaan.
Tapi di balik itu, puisi ini juga mengilatkan rasa gregetan kaum muda terhadap
generasi
tua yang sejak hari-hari terakhir kekuasaan penjajah Jepang di Indonesia dianggap
agak
mbalelo dalam menggesa kemerdekaan Indonesia.
Persetujuan
dengan Bung Karno9
Ayo
! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku
sudah cukup lama dengan bicaramu, dipanggang diatas apimu,
digarami
lautmu
Dari
mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku
melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku
sekarang api aku sekarang laut
Bung
Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di
zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di
zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di
uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
Dalam
sejarah perpuisian Indonesia persoalan kebangsaan tetap menonjol sampai
sekarang.
Sepanjang
sejarah Indonesia modern, puisi-puisi kaya dengan wacana politik tempat
terjadinya
pergulatan pemikiran mengenai bangsa. Kritik terhadap praktek korupsi,
penderitaan
kaum buruh, perilaku rezim otoriter terhadap rakyat10, dan lain sebagainya
selalu
disuarakan
dalam puisi modern Indonesia sampai hari ini.
Gagasan
mengenai kebangsaan dalam novel Indonesia awal
Seperti
halnya genre puisi, genre novel atau roman di Zaman Pergerakan telah berperan
penting
dalam mengapungkan wacana kebangsaan, sebagaimana terefleksi dalam pendapat
Henk
Maier (2002:69) yang dikutip di awal makalah ini. Teks-teks roman/novel di
zaman itu
adalah
ladang untuk menggelorakan semangat merdeka dan anti penjajahan. Demikianlah
umpamanya,
dalam Hikajat Kadiroen karya Semaoen, terdapat dialog sebagai berikut.
Tadi
saja soedah memberi keterangan, bahwa koempoelan kita [P.K. – Partai Kominis]
berichtiar
mengadjak
rajat mendjadi pinter dan koeat, soepaja achirnya kita bisa merdika mengoeroes
negeri kita
9
Didasarkan atas Liauw dan Jassin (ibid.):107.
10
Tentang tema ini yang menyangkut Rezim Orde Baru, lihat puisi-puisi Wiji Thukul
(1988; 2000). Wiji
Thukul
sendiri disinyalir merupakan salah satu korban penghilangan sastrawan oleh
Rezim Orde Baru. Dalam
puisi-puisinya
Wiji Thukul mengeritik keras Rezim Orde Baru yang represif. Sampai sekarang
kuburnya belum
ditemukan
dan kematiannya sampai masih tetap menjadi misteri.
11
sendiri.
Na, ini hal soenggoehlah perkara kebangsa‟an.[...]. Adapoen kalau bangsa kita
Boemipoetra jang
kaja
tahoe betoel maksoednja perkoempoelan kita, tentoe mereka soeka mengalah dan
moefakat dengan
rajat
dalam P.K. sebab P.K. maoe memoeliakan Se-anteronja rajat atau pendodoek
Hindia.” (Samaoen
1920:121).
Hikajat
Kadiroen mengandung propaganda Komunisme untuk menyadarkan rakyat Hindia
Belanda
agar melawan sistem Kapitalisme yang bersekongkol dengan Pemerintah Kolonial.
Melalui
narasi roman itu Semaoen mengajak pembaca (kaum intelektual pribumi) untuk
bergabung
dengan Partai Komunis yang dipimpinnya. Semaoen menyadari pentingnya media
cetak
seperti surat kabar untuk menyebarkan ide-idenya. Hikajat Kadiroen sendiri
ditulis oleh
Semaoen
ketika dia berada dalam penjara tahun 1919 karena terkena persdelict Pemerintah
Kolonial
Belanda.
Judul
roman masih memakai kata „hikayat‟, yang menyiratkan semangat sastra
Melayu
lama yang masih tersisa di zaman aksara Latin yang makin berkuasa di dunia
Melayu
sejak
awal abad ke-20. Namun, jika diberi interpretasi lebih jauh, kata „hikayat‟
juga seolah
merepresentasikan
rasa anti Barat dan anti kapitalisme, yang memang merupakan motif
penting
perjuangan kaum Komunis di Hindia Belanda pada zaman itu. Banyak roman yang
terbit
antara 1920-an sampai 1940-an berisi kisah-kisah perjuangan yang heroik
menentang
penjajahan.
Di samping itu tak sedikit pula yang mengekplorasi pemikiran-pemikiran
ideologis,
baik yang berlabel agama maupun yang sekuler, bahkan juga komunisme dan
ateisme.
Dalam Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito muncul tema tentang
perjuangan
“proletar intelektual” Sudarmo dan Sulastri yang menjadi guru sekolah liar
(partikelir),
yang dijepit oleh politik kolonial. Mereka lebih memilih hidup miskin asal
dapat
bekerja
untuk bangsanya sendiri. Perasaan kebangsaan itu antara lain dapat dikesan
dalam
kutipan
berikut ini:
Marti,
Do‟akan
aku dapat bekerja dengan penuh cita-cita. Kau masih ingat, bahwa pertalian
persaudaraan antara
kau
dan aku harus mengekalkan kesetiaan kita akan sumpah kita berdua; bekerja bagi
mereka yang
tertindas
dan untuk Indonesia, tanah air kita bersama. (Jojopuspito 2000:18).
Manusia
Bebas terbit untuk pertama kalinya dalam bahasa Belanda di Negeri Belanda pada
tahun
1940 dengan judul Buiten het gereel yang secara harfiah berarti „di luar rel‟.
Suwarsih
secara
berani telah mengemukakan ide-ide dan perasaannya mengenai kemerdekaan bangsa
Indonesia
melalui bahasa milik si penjajah dan di negeri si penjajah sendiri (Zonneveld
1996).
Buiten
het gereel adalah salah satu karya sastra yang banyak diperbincangkan oleh
intelektual
Belanda.
Namun, seperti yang dikemukakan oleh E. du Perron untuk pengantar edisi
12
Indonesia
roman ini, apa yang dikemukakan dalam Manusia Bebas adalah perasaan “yang
nyata
ada di kalangan orang nasionalis” dan dianggapnya akan berguna untuk mencapai
“„pengertian
yang lebih baik antara putih dan sawo matang‟”11, suatu usaha yang tampaknya
dimaksudkan
untuk menetralisir kekagetan orang Berlanda yang pernah terjadi ketika
membaca
edisi pertama roman ini yang diterbitkan oleh seorang inteletual wanita pribumi
dalam
bahasa mereka sendiri, bahasa penjajah yang selama beratus tahun dijauhkan dari
subjek
terjajah di Hindia Belanda agar mereka tidak menjadi pintar dan membahayakan
hegemoni
si penjajah di tanah jajahan mereka.
Dengan
cara lain, sejumlah roman juga merepresentasikan keindonesiaan dalam plot
dan
penokohan yang bersifat lintas etnis. Hal itu dapat dikesan dalam beberapa
roman Zaman
Pergerakan
karangan sastrawan Indonesia yang berasal dari Minangkabau. Sebuah bangsa
baru
yang dicita-citakan mestilah keluar dari ekslusivisme etnisitas dengan berbagai
ciri yang
menyertainya.
Keindonesiaan yang dicita-citakan mestilah memberi ruang toleransi bagi
perbedaan
budaya dan agama. Hubungan antara suku harus diperkuat, seperti terefleksi
dalam
judul
roman karangan S. Hardjosoemarto dan Aman Dt. Madjoindo, Rusmala Dewi:
Pertemuan
Jawa dan Andalas (edisi pertama: 1932). Hubungan antar etnis itu sering
digambarkan
melalui perkawinan, seperti dapat dilihat dalam hubungan perkawinan antara
Nurdin
(Minangkabau) dan Rukmini (Sunda) dalam Darah Muda oleh Adi Negoro12 (edisi
pertama:
1927) dan Rustam (Minangkabau) dan Dirsina (Sunda) dalam Asmara Jaya (edisi
pertama:
1928) yang juga dikarang oleh Adi Negoro. Tema yang sama juga direpresentasikan
melalui
tokoh Amiruddin (Minangkabau) dan Astiah (Jawa) dalam Cinta Tanah Air karangan
Nur
Sutan Iskandar (edisi pertama: 1944), sebuah roman yang berlatar perjuangan
merebut
kemerdekaan
Indonesia. Hubungan antaretnis yang cukup mencolok juga terlihat pada diri
poniem
(Jawa) dan Leman (Minangkabau) dalam Merantau ke Deli oleh Hamka (edisi
pertama:
1940). Hubungan kedua tokoh itu yang berasal dari etnis yang berbeda itu sangat
menentukan
alur novel tersebut. Latar novel ini adalah daerah Deli dan Medan pada zaman
sebelum
perang. Leman adalah perantau Minang yang berprofesi sebagai pedagang di Medan.
Sedangkan
Poniem adalah seorang gadis Jawa langganan tetapnya yang bekerja menjadi
buruh
di ladang tembakau di Deli. Akibat sering bertemu, mereka akhirnya saling jatuh
cinta
dan
sepakat untuk menikah. Banyak teman seperantauan Leman asal Minangkabau yang
memberikan
komentar-komentar negatif atas pernikahan antaretnik itu. Mereka menilai
Leman
sangat berani melanggar kelaziman pada waktu itu di mana banyak orang
11
Dikutip dari edisi 2000 oleh Penerbit Djambatan, halaman xv (lihat
kepustakaan).
Namanya
sering pula ditulis satu kata: „Adinegoro‟. Nama lengkapnya adalah „Djamaludin
Adinegoro‟.
Minangkabau
yang merantau cenderung akan menikahi gadis Minangkabau yang berasal dari
kampung
sendiri, yang biasanya dipilihkan oleh keluarga matrilineal si laki-laki.
Namun,
Leman
melanggar adat resam itu. Dia ingin menikahi Poniem yang berasal dari etnis
Jawa.
Pernikahan
antara Leman dan Poniem berbuah bahagia. Usaha perniagaan Leman
menjadi
maju. Akan tetapi, kejayaan itu pulalah yang menjadi membawa petaka kepada
rumah
tangga Leman dan Poniem. Sebagaimana umumnya tipikal konflik rumah tangga di
Minangkabau,
orang ketiga – biasanya salah satu pihak dari keluarga laki-laki atau perempuan
–
mencampuri urusan rumah tangga satu pasangan suami-istri. Setelah mendegar
usaha
dagang
Leman berkembang di Medan, keluarganya di kampung datang menemui Leman
dengan
maksud hendak mengawinkannya dengan seorang gadis dari kampung pilihan mereka
sendiri.
Leman dipaksa kawin lagi dengan Mariatun, gadis sekampungnya yang masih
memiliki
hubungan keluarga dengannya. Perkawinan kedua itu akhirnya membawa
kesengsaraan
pada diri Leman. Melalui Merantau ke Deli, Hamka tidak saja mengeritik adat
Minangkabau,
tetapi juga mulai memperkenalkan kemungkinan membina Indonesia baru
melalui
pembauran antarentik. Hamka kembali menggarap tema perkawinan antaretnik ini
dalam
Tenggelamnya Kapal Van der Wijk (terbit pertama kali dalam bentuk feuilleton dalam
Majalah
Pedoman Masjarakat di Medan, 1938). Dalam novel itu Hamka memperkenalkan dua
tokoh
yang berbeda etnis: Hayati (Minangkabau) dan Zainuddin (Bugis).
Tampaknya
para pengarang dan intelektual asal Minangkabau di Zaman Pergerakan
sudah
jauh melangkah ke depan: memikirkan konsep keindonesiaan. Nur Sutan Iskandar
(Sungai
Batang, Maninjau, 3 November 1893 – Jakarta, 28 November 1975), Adi Negoro
(Talawi,
Sumatra Barat, 14 Agustus 1904 – Jakarta, 8 Januari 1967) dan Hamka (Singai
Batang,
Maninjau, Sumatra Barat, 17 Februari 1908 – Jakarta, 24 Juli 1941) adalah tiga
sastrawan
Indonesia pada zaman itu yang menganut paham „terbuka‟, dalam arti bahwa
pemikiran
mereka (yang direfleksikan melalui tokoh-tokoh dalam karya mereka) bersifat
lintas
budaya dan „mengindonesia”. Umumnya novelis golongan ini sering „keluar‟ dari
wilayah
kebudayaan etnisnya. Kebetulan ketiga pengarang di atas berasal dari etnis
Minangkabau,
etnis yang terkenal dengan budaya merantau-nya yang tidak bersifat ekslusif.
Oleh
karena sering bersentuhan dengan kebudayaan lain, mereka tidak „chauvinistik‟
dalam
melihat
kebudayaannya sendiri. Mereka sanggup memandang budaya sendiri dengan objektif
dan
dapat menerima ide-ide yang positif dari kebudayaan lain. Oleh karena itu mereka
mampu
menghadirkan perspektif keindonesiaan yang multibudaya itu dengan lebih jelas
dalam
karya-karyanya. Demikianlah umpamanya, pemikiran mengenai keindonesiaan itu
terefleksi
dalam kalimat-kalimat Adi Negoro di bawah ini, dengan sedikit menyindir etnis
Jawa
dan seolah secara implisit membanggakan sifat sukarela (voluntary) budaya
merantau
orang
Minangkabau:
Merantau
ke negeri Seberang orang djawa ta‟ soeka, karena tjintanja besar sekali ketanah
air. Tanah
airnja
beloem lagi diperlebarnja, melainkan masih tinggal Djawa. Kalau anak-anak moeda
angkatan
sekarang
dan angkatan jang akan tiba, berladjar memandang tanah airnja selebar Indonesia
Raja, tidaklah
akan
dapat ganggoean tetek bengek kalau ia hendak merantau ketanah seberang, karena
tanah seberang
itoe,
baik Soematra, baik Borneo, baik Selebes atau Nieuw Guinea, ialah tanah airnja
semata-mata,
bangsa-bangsa
jang diam diatasnja tidak lagi akan disangkanja orang asing, melainkan
saudaranja.
(Negoro
1930:5).
Dalam
konteks ini, menarik membandingkan Nur Sutan Iskandar dan Adi Negoro di satu
pihak
dan Hamka di lain pihak. Nur dan Adi Negoro menghadirkan perspektif yang
berbeda
dengan
Hamka. Dalam Cinta Tanah Air pasangan Amiruddin dan Astiah berhasil
melangsungkan
perkawinan dan keduanya ikut dalam perjuangan untuk mencapai
kemerdekaan.
Hambatan adat hampir tak berarti dalam hubungan cinta mereka. Dalam Darah
Muda
pasangan Nurdin-Rukmini (Minang-Sunda) juga berhasil mewujudkan cinta mereka
sampai
ke jenjang perkawinan. Begitu juga halnya dengan pasangan Rustam-Dirsina
(Minang-Sunda)
dalam Asmara Jaya oleh pengarang yang sama. “Pemberontakan” terhadap
adat
Minangkabau oleh pihak laki-laki (Nurdin dan Rustam) berhasil: mereka mampu
melewati
rintangan adat dan budaya. Usaha pihak keluarga untuk memisahkan mereka dari
pasangan
mereka yang berasal dari etnis Sunda (biasanya dengan cara menyuruh mereka
kawin
lagi dengan gadis sekampung) berhasil mereka gagalkan atau mereka tolak.
Sebaliknya,
Merantau ke Deli dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck berakhir dengan sad
ending.
Nasib tragis dialami oleh pasangan Leman-Poniem (Minangkabau-Jawa) dalam
Merantau
ke Deli dan pasangan Zainuddin-Hayati dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck.
Kedua
pasangan itu tidak berhasil melanjutkan cinta mereka ke mahligai rumah tangga.
“Pemberontakan”
terhadap adat yang mereka lakukan tidak berhasil dan membawa
kesengsaraan
kepada mereka. Perbedaan itu menyiratkan suatu proses menuju keindonesiaan
yang
lebih matang dan dewasa. Lepas dari gerakan romantisme yang menjadi trend dalam
dunia
sastra di Hindia Belanda pada zaman itu, kedua novel karya Hamka tersebut
seolah-
olah
menyiratkan bahwa dari segi budaya, masih diperlukan perjuangan yang kuat untuk
mewujudkan
bangsa Indonesia. Sekat-sekat etnisitas dengan segala kompleksitas budayanya
harus
dibuka. Hal itu seolah-olah juga menyiratkan betapa kebhinnekaan dalam
pluralisme
masyarakat
Indonesia yang berbilang etnis ini masih harus diperjuangkan dengan gigih dan
masih
dalam proses pematangan.
Karya-karya
sastra Indonesia di era selanjutnya juga pekat dengan ideologi
nasionalisme.
Pramoedya Ananta Toer adalah salah seorang pengarang yang menonjol dalam
hal
ini. Dalam ulasannya mengenai karya-karya Pramoedya, A. Teeuw (1997:266)
menulis.
Pramoedya
could present the man Minke [protagonis Bumi Manusia] as the pioneer of an
Indonesian
nation
of the people, nation where justice and equality would exist, where women would
have equal
rights
and where men and women would have freedom of expression. Such has been
Pramoedya‟s
ideology
of the Indonesian nation, from his earliest stories written as a guerilla
fighter to his great Buru
novels,
created while a prisoner in his own Indonesia. This national ideology gives the
fascinating unity
to
all his work, which can be characterized by a national Indonesian motto,
bhinneka tunggal ika, unity in
diversity.
Keunikan
Indonesia sebagai negara yang tidak mengadopsi bahasa Belanda, bahasa bekas
penjajahnya
telah menimbulkan ciri anti kolonial yang pekat dalam karya sastranya. Dengan
bahasa
nasional sendiri, para sastrawan Indonesia, sejak akhir masa kolonial, menulis
persoalan-persoalan
dalam masyarakat mereka sendiri, termasuk persoalan-persoalan bangsa
mereka
sendiri, tanpa harus tersekap kaku dalam kanon-kanon kesastraan Barat (Foulcher
1995).
Dalam karya-karya mereka konvensi-konvensi sastra Melayu lama masih terasa,
yang
diramu
dengan unsur-unsur baru yang mereka peroleh dari berbagai budaya seperti budaya
Islam
dan Eropa sendiri. “The influence of traditional [Malay] literature can be seen
more
obviously
in the style of language used in early [Indonesian] novels” (Aeusrivongse
1976:76).
Dalam
pandangan para peneliti Barat hal itu telah dianggap sebagai penghalang
pencapaian
nilai
sastra yang tinggi. Namun, „Eurosentric biases‟ itu, sebagaimana halnya juga
terefleksi
dari
fiksi-fiksi colonial yang ditulis oleh orang Belanda tentang budaya dan
masyarakat
Hindia
Belanda (lihat: Roskies 1988), telah dikritik pula oleh sebagian peneliti
(lihat
misalnya:
Sweeney 1994; Derks 2001). Dengan kendaraan bahasa Melayu sendiri, sastra di
dunia
Melayu telah membentuk dirinya sendiri dan juga telah menjalankan fungsinya
yang
khas
sebagai media untuk mengekpresikan nasionalisme dalam masyarakatnya.
Sastra
dan semangat kebersamaan rumpun Melayu sampai tahun 1950-an
Sejak
Zaman Pergerakan (1920-an) sampai 1950-an sastra di dunia Melayu masih belum
terkotak-kotak
oleh batas kenegaraan seperti sekarang ini. Era tersebut masih melanjutkan
kesatua
Melayu di zaman pernaskahan, sebagaimana telah diuraikan di atas. Pada masa
akhir
zaman
kolonial sampai dekade awal kemerdekaan dunia Melayu dari penjajahan Eropa,
para
pengarang
dan intelektual dari wilayah yang sekarang bernama Indonesia banyak memberi
inspirasi
kepada rekan-rekan mereka yang berada di Semenanjung Malaya. Mereka merasa
bersama
dan bersatu di bawah landasan Islam, agama yang telah lama menjadi ciri pembeda
orang
Melayu dengan puak-puak lainnya di Asia Tenggara. Para intelektual dari
Sumatra,
khususnya
Minangkabau yang hijrah ke Semenanjung Malaya akibat tekanan penjajah
Belanda,
banyak yang menjadi pemimpin agama dan politik di sana. Mereka menjadi orang-
orang
terkemuka di Semenanjung Malaya. Sekedar contoh, ulama kharismatik Perak Syeikh
Tahir
Djalaluddin (1869-1956), pemimpin pertama Federasi Malaysia setelah merdeka
dari
Inggris
Tuanku Abdul Rahman (1895-1960) dan presiden pertama Singapura Yusof bin Ishak
(1910-1970)
adalah tiga orang terkemuka yang berdarah Minangkabau (lihat: Aziz 2003;
Chaniago
2010:498-504, 522-27, 532-35).
Menurut
Pak Su Ji, banyak sastrawan di Zaman Pergerakan di Malaysia, khususnya
yang
berasal dari Kelantan, mendapat inspirasi dari para seniornya yang berasal dari
Indonesia,
terutama para sastrawan keturunan Minangkabau seperti Hamka dan lain-lain.
Menurut
penulis ini, pengaruh Islam dari Timur Tengah telah menjadi inspirasi bagi
banyak
intelektual
dan sastrawan di Indonesia dan Semenanjung Melayu untuk mencetuskan
semangat
nasionalisme melawan kolonialis Belanda dan Inggris. Banyak majalah yang
diterbitkan
di Indonesia dibaca secara luas oleh orang-orang di di Semenanjung Malaya. Ini
menunjukkan
bahwa bahan-bahan bacaan dari Indonesia, terutama dari Sumatra, telah lama
berkembang
dan mendapat tempat yang istimewa dalam masyarakat Melayu di Semenanjung
Malaya.
Pengaruh
dalam bidang bahasa dan sastera semakin berkembang apabila Kongres Pemuda
Indonesia II
pada
28 Oktober 1928 telah memutuskan untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa
persatuan
dengan
nama Bahasa Indonesia. Pengambilan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia telah
memberikan
semangat
baru kepada orang-orang Melayu untuk mengembangkan lagi kesusasteraan mereka.
Pengarang-pengarang
novel misalnya Harun Aminurrashid, Yasin Ma‟amor, Raja Mansor, Abdullah
Sidek,
Abdul Kadir Adabi banyak membaca novel-novel yang ditulis oleh pengarang
Indonesia misalnya
Sitti
Nurbaya (1922), Darah Muda (1927) dan Di Bawah Lindungan Ka‟bah (1933).13
Menurut
Pak Su Ji pula, banyak novelis awal di Semenanjung Malaya yang mendapat
pengaruh
dari karya-karya pengarang-pengarang Indonesia asal Sumatra, khususnya
Minangkabau
yang memang mendominasi dunia kesusastraan Indonesian pada waktu itu.14
Pengarang-pengarang
pada awal tahun 30an khususnya Abdul Kadir Adabi merupakan seorang yang rajin
membaca.
Hal ini termasuklah bahan-bahan bacaan dari Indonesia. Menurut Rosnah Baharudin
novel
Melati
Kota Bharu mempunyai hubungan yang sangat erat dengan novel yang ditulis oleh
Swan Penn
(nama
samaran Prada Harahap, seorang tokoh wartawan Indonesia) iaitu Melati Van Agam.
Pengaruh ini
dapat
dilihat berdasarkan novel Melati Kota Bharu yang memilih bunga sebagai tajuk
yang dilambangkan
pada
wanita telah dimulakan oleh Swan Penn. Sebelum itu pada tahun 1932, Ahmad
Syarkawi juga
Dikutip
dari Pa Su Ji: “Faktor kelahiran pengarang Kelantan dan Minangkabau” dalam
blognya:
http://keceklagi.blogspot.nl/2011/09/faktor-kelahiran-pengarang-kelantan-dan.html
(diakses 5 Oktober 2012).
14 Menurut perhitungan Freidus (1977), sampai
1942, sekitar 85-90% pengarang Indonesia berasal dari
Minangkabau.
Oleh sebab itu pengaruh bahasa Melayu Minangkabau pun sangat kentara pada waktu
itu.
mengunakan
unsur bunga dalam pemilihan judul novelnya di Sarawak iaitu Melati Sarawak dan
pengarang
ini juga sebenarnya berasal dari Sumatera Barat. Pengarang dari Tanah Melayu
juga mendapat
tempat
dalam majalah Pujangga Baru dari Indonesia apabila hasil karya mereka
diterbitkan dalam
majalah
tersebut. Hal ini dapat dilihat melalui sajak Harun Aminurashid yang berjudul
“Oh! Sariku”.
Pengarang-pengarang
novel pada tahun 1930an ada yang berasal dari Indonesia khususnya dari
Sumatera.
Mereka juga telah membantu mempercepatkan penulisan novel di Tanah Melayu apabila
mereka
menjadikan negara ini sebagai destinasi mereka. Salah satu sebab mereka
berhijrah ke Tanah
Melayu
berikutan tekanan politik penjajah Belanda. Pengarang-pengarang tersebut
termasuklah Raja
Mansor,
Shamsuddin Salleh, Yunus A. Hamid, Ahmad Nur A, Shukur dan Muhammad Sanin Taib.
Selepas
Tanah Melayu merdeka, Idrus seorang pengarang dari Padang, Indonesia pernah
menetap di
Kuala
Lumpur.
Pengaruh
kepada sastera dari Indonesia cukup tinggi bukan sahaja pada tahun tahun 20-an
dan 30-an
tetapi
minat ini terus berkembang sehingga sekarang. Aliran masuk novel-novel dan
bahan bacaan dari
Indonesia
pada akhir tahun 1940-an sehingga 60-an banyak membanjiri pasaran buku di
Malaysia.
Beberapa
novel dari pengarang Indonesia misalnya Atheis, Keluarga Geriliya, Salah Asohan
dan Sitti
Nurbaya
pernah menjadi bacan wajib kepada pelajar di peringkat menengah dan universiti
pada tahun
1960
- 1990. Ini membuktikan bahawa pengarang Malaysia belajar dari pengarang
Indonesia. Hal ini
dapat
dilihat dalam koleksi perpustakaan peribadi milik Norhisham Mustaffa yang
mempuyai koleksi
majalah
sastera Horison disamping majalah-majalah serius dan bertemakan agama dari
Indonesia seperti
Basis,
Islamik, dan Kalam.15
Demikianlah,
rasa kebersamaan dalam dunia sastra masih terasa di dunia Melayu sampai
tahun
1950-an, terutama antara Indonesia dan Malaysia. Bahkan dunia sastra pop juga
menjadi
jembatan penghubung yang mempererat tali persaudaraan antara Indonesia dan
Malayasia.
Banyak latar cerita dan tokoh-tokoh cerita dalam roman-roman non Balai Pustaka
yang
terbit di Sumatra seperti Medan, Bukittinggi, dan Padang16, mengambil latar dan
tokoh-
tokoh
yang melibatkan wilayah Indonesia dan Malaysia, seperti digambarkan dalam roman
Ratoe
Boelan dari Kuala Lumpur karya Roma Nita (1941). Hubungan yang penuh kemesraan
itu
terganggu menyusul kampanye „Ganyang Malaysia‟ yang dilancarkan oleh
Pemerintahan
Sukarno
terhadap Pemerintahan Federasi Malaysia tahun 1962-1966. Sukarno melakukan
politik
konfrontasi dengan Malaysia menyusul keputusan Malaysia untuk menggabungkan
Sabah,
Serawak, dan Brunei ke dalam Persekutuan Tanah Melayu yang dibentuk tahun 1961.
Penggabungan
wilayah Kalimantan utara ke dalam Federasi Malaysia dianggap oleh Sukarno
telah
menyalahi Kesepakatan Manila dan ia menganggap di belakang itu bermain kembali
politik
kolonial Inggris. Refleksi sastra untuk mengingatkan kekeliruan yang telah
dibuat oleh
kedua
bangsa serumpun yang terlibat konfrontasi itu barangkali dapat dikesan dalam
novel
Malam
Kuala Lumpur karangan Nasjah Djamin (1968). Novel itu menggambarkan latar dunia
Melayu
dengan negeri jiran, Malaysia, semasa konfrontasi (Santosa dan Jayawati
2011:120).
Walaupun
tema novel itu agak erotis, yang menggambarkan pengaruh modernisme terhadap
kehidupan
gadis-gadis perkotaan yang berpendidikan dan bergaul dengan bangsa lain, tapi
15
Ibid.
16
Lebih jauh mengenai roman-roman non Balai Pustaka yang terbit di Sumatra tahun
1920-an sampai 1950-an,
lihat
misalnya Roolvink (1950), Rivai (1963), Sudarmoko (2008) dan Suryadi (2010).
18
narasinya
mengandung pesan tersembunyi agar hubungan Jakarta dan Kuala Lumpur
diperbaiki
kembali.
Dapatkah
akar kemelayuan dapat diperkuat kembali lewat wacana sastra?
Berdasarkan
uraian di atas kita mendapat gambaran bahwa invasi aksara Latin di satu sisi
dan
tercabik-cabiknya
dunia Melayu oleh peta-peta yang dibuat oleh para konolialis Eropa telah
menyebabkan
terjadinya perubahan pada peran sastra Melayu sebagai salah satu lambang
pemersatu
rumpun Melayu. Sastra dalam konteks kebudayaan Melayu menjadi terkotak-kotak
dan
menjurus ke arah perjuangan sendiri-sendiri. Solidaritas kemelayuan jadi
terkikis oleh
proyek
nation-state baru sebagai „buah busuk‟ kolonialisme yang masih membingungkan
mereka.
“[I]n Southeast Asia, the idea of nation is so new that we still do not fully
understand
what
it entails. [T]he more quickly we try to develop such a nation-state, the more
threats
there
will probably be. [T]he leaders [of Southeast Asian countries] have been
struggling for
the
past fifty years with the question of what a nation is, and in particular, with
the question,
‘what
is a nation-state?’.” (Wang 2007:x).
Setelah
tahun 1960-an terlihat ekslusivisme sastra dalam pergaulan antar bangsa
serumpun
dalam lingkup dunia Melayu. Demikianlah umpamanya, sastra Malaysia atau sastra
Brunei
tidak begitu dikenal di Indonesia, kecuali oleh selinting golongan sastrawan
saja.17
Sebaliknya,
sastra Indonesia juga tidak begitu dikenal lagi di Malaysia dan di
negara-negara
jiran
lainnya. Peran sastra sebagai salah satu sarana penjaga identitas rumpun Melayu
telah
menjadi
tekotak-kotak oleh batas administrasi negara. Keadaan itu diperburuk oleh
rivalitas
politik
antar bangsa serumpun yang menjadikan dunia sastra sekarang jauh berbeda dengan
Zaman
Pergerakan, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Pertanyaannya:
mungkinkah semangat kemelayuan dalam dan melalui sastra itu dapat
diperkuat
kembali? Bisakah sastra menjadi penopang rasa kebersamaan rumpun Melayu yang
sekarang
terkotak-kotak dalam beberapa nation-state yang berbeda? Menurut saya, hal itu
sangat
mungkin, mengingat modal historis yang pernah kita miliki, yaitu sastra Melayu
zaman
aksara
Jawi sampai tahun 1950-an, seperti telah dikemukakan di atas. Modal penting
lainnya
adalah
bahasa, yaitu bahasa Melayu yang sudah lama menjadi lingua franca di dunia
Melayu.
Memang
usaha-usaha untuk mengembalikan fungsi sastra Melayu sebagai unsur pembangun
karakter
kemelayuan terus diupayakan, antara lain melalui program Mastera (Majelis
Sastra
Asia
Tenggara). Namun, kegiatannya mesti lebih diperluas dan iintensifkan, tidak
hanya
17
Cukup penting dicatat di sini bahwa pertemuan para penyair Nusantara lebih sering
dilakukan daripada
pertemuan
para novelisnya, seolah menyiratkan bahwa syair memang lebih mengandung akar
kesatuan budaya
Melayu-Nusantara
ketimbang novel yang diadopsi dari tradisi sastra Barat.
sekedar
ajang pertemuan beberapa orang sastrawan dan reuni pejabat-pejabat negara. Akan
lebih
baik jika program tersebut dibarengi dengan aksi-aksi yang lebih nyata untuk
memperkenalkan
sastra antar negara Asia Tenggara di kalangan pelajar dan masyarakat luas
yang
bersifat lintas negara, misalnya dengan mengintensifkan kunjungan sastrawan
antar
negara
Asia Tenggara, apresiasi karya-karya sastra negara jiran di sekolah-sekolah,
lomba
mengulas
karya-karya sastra negara-negara jiran, dan lain sebagainya. Dengan demikian,
ranah
sastra dunia Melayu di zaman sekarang tidak terkurung oleh batas-batas
administrasi
negara
yang kaku dan cenderung eksklusif.
Salah
satu contoh yang relevan adalah temu sastrawan Melayu Raya (Numera) yang
diadakan
di Padang pada bulan Maret 2012 lalu. Menurut saya, kegiatan itu dapat
mengakrabkan
dan memesrakan hubungan para sastrawan antara negara dalam rumpun
Melayu.
Dalam artikel saya yang ditebitkan di Haluan18 sempena menyambut acara Numera
itu,
saya mengatakan bahwa mungkin akan lebih bermanfaat apabila kegiatan seperti
itu
dilanjutkan
secara berkala di masa-masa mendatang. Para sastrawan dari berbagai negara di
dunia
Melayu harus menyadari peran penting yang bisa mereka mainkan dalam mempererat
hubungan
bertetangga antara Malaysia dan Indonesia yang akhir-akhir ini terkesan kurang
sehat
akibat politik kebudayaan yang cenderung memperlihatkan amnesia sejarah. Paling
tidak
sejak enam tahun terakhir ini hubungan kebudayaan dan politik antara Indonesia
dan
Malaysia,
dua negara jiran yang tercipta akibat politik penjajahan Belanda dan Inggris,
cenderung
makin tegang. Hal ini dikhawatirkan berimbas ke negara-negara jiran lainnya.
Kedua
bangsa serumpun ini mengalami keterbelahan identitas kultural hanya karena
label
paspor,
corak bendera, dan perbedaan nilai tukar mata uang, membuat mereka makin sering
cekcok
oleh perkara-perkara remeh-temeh soal budaya yang seharusnya justru bisa
mendekatkan
mereka satu sama lain. Itu memalukan dan justru akan membuat bangsa-bangsa
lain
tertawa melihat kita. Apabila saya membaca ulasan-ulasan para ilmuwan Barat
(atau
ilmuwan-ilmuwan
Asia sendiri yang mengekor teori-teori Barat) tentang fenomena
dekolonisasi
di negara-negara bekas jajahan Eropa dulu, saya sebagai orang Timur dari
sebuah
negeri yang dulu pernah dijajah oleh bangsa Barat (Belanda) merasa tersindir.
Dengan
bahasa
„ilmiah‟ yang secara implisit mengandung cemoohan, mereka mengatakan bahwa
banyak
negara pasca kolonial di Asia dan Afrika justru mengalami krisis identitas yang
kadang
jauh lebih parah dibanding ketika mereka dulu dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa,
bahwa
perubahan dari “colonial rule” kepada “post colonial rule” malah sering tidak
Suryadi,
“Pesan „Malam Kuala Lumpur‟ untuk Numera”, Haluan, 17 Maret 2012. Paragraf-paragraf
berikutnya
dalam bagian ini dirumuskan kembali dari artikel tersebut.
membawa
kesejahteraaan sosial dan material kepada bangsa-bangsa yang dulu diteriakkan
agar
menjadi merdeka oleh pada pendiri negaranya.19 Dalam hal ini, Indonesia sering
diambil
menjadi
contoh kasus tentang sebuah negara-bangsa hasil dekolonisasi yang gagal. Jika
pun
beberapa
pasca kolonial itu telah menunjukkan kesuksesan secara ekonomi (seperti
Malaysia
dan
Singapura, misalnya), beberapa aspek lain menyangkut hak azasi manusia dan
demokrasi
tetap
menjadi sorotan para ilmuwan dan pemerintah negara-negara asing bekas penjajah
itu.
Seperti
terekspresi dalam berbagai media dan wacana publik di Indonesia dan
Malaysia,
sikap respek atas dasar kebersamaan sebagai rumpun Melayu semakin mendangkal.
Kepongahan-kepongahan
sebagai bangsa – kultus merek politik yang muncul belakangan dan
jauh
lebih muda usianya dari etnisitas dan bahasa Melayu, yang sering malah belum
dipahami
sepenuhnya
oleh penduduk Asia Tenggara (lihat: Wang 2005; Wang 2007) – telah
mengakibatkan
bangsa-bangsa di bawah bendera nation-satate namun sama-sama berasal dari
rumpun
Melayu lupa kepada kesamaan akar budaya nenek moyang mereka di masa lampau.
Sesama
saudara serumpun itu makin saling curiga-mencurigai, bahkan sampai ke ranah
budaya.
Inilah salah satu ironi negara-bangsa pasca kolonial di Asia Tenggara yang,
langsung
atau
tidak, merupakan kontribusi dari penjajahan Barat terhadap dunia Melayu di masa
lampau.
Saya kira sudah saatnya bangsa-bangsa serumpun di dunia Melayu saling
mengeliminir
berbagai perbedaan akibat kehadiran negara-bangsa-negara-bangsa pasca
kolonial
dan kembali memperkuat akar kebersamaan kita sebagai rumpun Melayu
sebagaimana
dijalani oleh nenek moyang kita sebelum dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa
dulu.
Untuk tujuan ini sastra, dengan sifat humanis yang menjadi ciri dasarnya, bisa
mendorong
terciptanya kebersamaan itu kembali. Akan tetapi, untuk mewujudkan tujuan itu
dunia
sastra mestilah bekerjasama dengan bidang-bidang lain, seperti media dan dunia
pendidikan.
Kaum
sastrawan dan budayawan harus berinisiatif dan berindak proaktif dalam
menghadapi
situasi hubungan budaya dan politik nasionalisme ekslusif di dunia Melayu yang
cenderung
menegang itu. Kaum sastrawan tidak boleh terkurung dalam nasionalisme sempit
yang
berlabel „Malaysia‟, „Singapura‟, „Indonesia‟, dan lain-lain, sebagaimana
diperlihatkan
oleh
para politikus dan sebagian masyarakat awam. Kaum sastrawan adalah teraju masyarakat
bangsa-bangsa
yang berada dalam rumpun Melayu. Mereka haruslah menjadi inspirator untuk
menciptakan
wacana (sastra) yang bernada sebaliknya: menyatukan perbedaan-perbedaan
yang
semakin menyembul di antara bangsa-bangsa dalam rumpun Melayu. Mereka harus
19
Lihat antara lain buku yang diedit oleh Els Bogaert dan Remco Raben (2012) yang
berbicara tentang fenomena
dekolonisasi
di Asia dan Afrika.
mengambil
jarak politik konfrontatif yang kadang terjadi antara Putrajaya, Jakarta dan
Singapura.
Mereka harus menggerakkan pena untuk mereduksi ketegangan antara saudara
serumpun
yang mencemaskan itu. Kaum sastrawan rumpun Melayu harus menjadi „reaktor‟
pendingin
untuk menghindari semakin memanasnya gesekan „mesin‟ nasion antar negara di
dunia
Melayu. Mereka harus tetap memegang kuat prinsip universalisme dan humanisme,
dan
harus
terus berada di garis depan untuk menyadarkan bangsanya atas kekeliruan dalam
politik
ganyang-mengganyang
soal kebudayaan ini. Hanya dengan mengambil sikap bijaksana
seperti
itulah komunitas sastrawan Melayu raya akan dicatat dengan tinta emas dalam
sejarah.
Upaya
mewujudkan Bahasa Melayu Supranasional
Usaha
untuk menjadikan sastra sebagai sarana pembentuk karakter bangsa tentu tidak
lepas
dari
peran bahasa. Dalam konteks ini bahasa Melayu adalah kendaraan yang sungguh
sangat
tepat
untuk mewujudkan cita-cita itu. Munculnya beberapa negara-bangsa modern pasca
koloniaalisme di dunia Melayu telah menyebabkan terjadinya percabangan arah
perkembangan
bahasa Melayu, khususnya antara Malaysia dan Brunei di satu pihak dengan
Indonesia
di lain pihak. Berbagai usaha telah dilakukan untuk menjembatani perbedaan-
perbedaan
itu, misalnya melalui pertemuan-pertemuan MABBIM (Majelis Bahasa Brunei
Darussalam
– Malaysia – Indonesia). MABBIM dibentuk tahun 1985.20 Sementara itu
Singapura
masih berstatus sebagai pemerhati. Namun, mengingat Pasal 153A Konstitusi
Singapura
yang menyebutkan bahwa “bahasa nasional Singapura adalah bahasa Melayu dan
harus
ditulis dalam aksara Latin” (Tan 2007:75), sudah selayaknya negara itu juga
aktif secara
penuh
dalam MABBIM dalam rangka memperkuat peran bahasa Melayu di negara pulau
tersebut.21
Tujuan
MABBIM adalah sebagai berikut:
1.
Meningkatkan semangat kebersamaan dan persaudaraan antara negara anggota.
2.
Meningkatkan peranan bahasa kebangsaan/resmi negara anggota sebagai alat
perhubungan
yang lebih luas.
3.
Mengusahakan pembinaan dan pengembangan bahasa kebangsaan/resmi negara
anggota
supaya menjadi bahasa yang setaraf dengan bahasa modern yang lain.
20
Semula anggotanya hanya Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia dan Pusat Pembinaan
dan Pengembangan
Bahasa
(sekarang: Pusat Bahasa) Indonesia sehingga diberi nama MBIM (Majelis Bahasa
Indonesia-Balaysia)
yang
resmi berdiri tahun 1971. Kemudian Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei Darussalam
bergabung tahun 1985
sehingga
berubah nama menjadi MABBIM (Asmah 2004; Asmah 2010).
21
Sampai saat ini Singapura, walau mendeklarasikan bahasa Melayu sebagai bahasa
nasional mereka, belum
memilik
Dewan Bahasa dan Pustaka, sebagaimana yang dimiliki oleh Malaysia, Indonesia,
dan Brunei
Darussalam.
Sampai sekarang di Singapura hanya ada dua lembaga bahasa Melayu, yaitu Majlis
Bahasa (lihat:
http://mbms.sg/)
dan Pusat Bahasa Melayu Singapura (lihat: http://www.mlcs.sg/home/) yang khusus
diperuntukkan
bagi guru-guru bahasa Melayu di negara itu
4.
Mengusahakan penyelarasan bahasa melalui penulisan ilmiah dan kreatif, pedoman,
dan
panduan.
5.
Mengadakan pertemuan kebahasaan berkala demi penyelarasan dan pendekatan
bahasa
kebangsaan/resmi negara anggota.
Menurut
Awang Sariyan, Ketua Pengarah Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, berbagai
kemajuan
telah dicapai melalui MABBIM, walau kendala-kendala yang prinsipil belum juga
ditemukan
solusinya. Awang menulis:
Keampuhan
bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, paling tidak dalam tiga ranah penting
kehidupan
dan
tamadun bangsa Melayu pada zaman silam, iaitu dalam perdagangan, pentadbiran
(termasuk
diplomasi),
dan dalam bidang persuratan (sebagai bahasa ilmu, kesusasteraan,
ketatanegaraan, perundang-
undangan
dan lain-lain) merupakan bukti jelas wujudnya konsep bahasa Melayu
supranasional, iaitu
bahasa
Melayu yang melampaui batas negara di kepulauan Melayu, apatah lagi batas
negeri dan daerah di
sesebuah
negara berbahsa Melayu. Bagaimanapun hal itu tampaknya sudah menjadi fakta
sejarah. bahasa
Melayu
yang digunakan di negara-negara berbahasa Melayu kini memperlihatkan jurang
yang cukup
lebar
dan dalam, baik pada segi kosa kata mahupun wacana keseluruhannya. Sehingga
demikian, keadaan
saling
faham antara pengguna bahasa Melayu di negara-negara yang berlainan mengalami
gangguan yang
kadangkala
[sudah] sampai pada tahap yang serius. Contohnya, buku yang diterbitkan dalam
bahasa
Melayu
varian Indonesia terpaksa diadaptasikan ke dalam bahasa Melayu varian Malaysia
apabila dicetak
di
Malaysia.
Memang
sejarah tidak dapat diputar semula. Sejak kedatangan penjajah [Eropah], bahasa
Melayu
di
rantau ini mula melalui jalan sejarah yang berlainan. Secara beransur-ansur
konsep bahasa Melayu
persatuan
yang terjelma dalam bahasa persuratan klasik berpencar menjadi beberapa jalur
yang menandai
kewujudan
bahasa Melayu berjati diri kenegaraan. Bahasa Melayu di Malaysia, bahasa Melayu
di Brunei
Darussalam,
dan bahasa Melayu di Indonesia masing-masing membentuk ciri-ciri khusus yang
menandai
situasi
kenegaraan. Hal ini meskipun alamiah sifatnya dan tentu memberikan erti
tertentu kepada
kewujudan
negara berdaulat, namun dalam konteks kesuburan saling faham dan pemantapan
wilayah
pengguna
bahasa Melayu yang melampa[u]i batas negara, tidak dapat tidak isu itu
memerlukan perhatian
yang
saksama. (Sariyan 2012:25-6).
Awang
Sariyan mengatakaan pula bahwa tujuan MABBIM bukanlah untuk mewujudkan satu
bentuk
bahasa Melayu yang mutlak dan seragam bagi semua negara berbahasa Melayu. Sebab
menurutnya
hal itu akan sulit dicapai dan lagi pula akan menghalangi kreativitas yang
berlaku
dalam
bahasa Melayu di negara masing-masing. Yang hendak dicapai adalah bahasa Melayu
yang
relatif seragam dalam sistem azas pada setiap tingkat korpus bahasanya, “dari
tingkat
sebutan
hingga ke tingkat tatabahasa dan laras bahasanya. Inilah yang dimaksudkan
sebagai
bahasa
Melayu supranasional, iaitu bahasa Melayu yang dapat memaksimalkan darjah
keadaan
saling faham dalam kalangan pengguna bahasa Melayu di semua negara berbahasa
Melayu
dan juga di negara bubkan berbahasa Melayu.” (Sariyan 2012:26). Sariyan (ibid.)
juga
mengatakan bahwa bahasa Melayu supranasional itu juga akan membantu upaya
pengembangan
bahasa persuratan Melayu di luar dunia Melayu, sehingga pelajar dan
ilmuwan
asing tidak terlalu terganggu oleh jurang perbedaan antara bahasa Melayu di
negara-
negara
berbahasa Melayu, terutama varian bahasa Melayu di Malaysia dan di Indonesia.
Munsyi
bahasa Melayu asal Malaysia, Abdullah Hassan, menyebut bahasa Melayu
supranasional
itu sebagai „Dialek Melayu Supra‟ (Hassan 1998). Ia menekankan pentingnya
membina
Dialek Melayu Supra itu dalam konteks pembentukan tamadun Melayu di wilayah
Asia-Fasifik
di abad depan, mengingat bahwa hampir 300 juta orang yang menjadi penutur
bahasa
Melayu. Ia menyimpulkan bahwa “Dialek Melayu Supra yang digunakan oleh semua
bangsa
yang menuturkan bahasa Melayu akan menyatukan bangsa Melayu” sehingga
“[b]angsa
Melayu akan menjadi lebih besar.” Apalagi mengingat adanya pendapat yang
mengatakan
bahwa bahasa Melayu sangat memungkinkan untuk digunakan sebagai bahasa
kerja
resmi komunitas Asia Timur (Shin 2012). Abdullah mengatakan bahwa pengembangan
Dialek
Melayu Supra itu memberi kemungkinan bagi pemanfaatan kekayaan pemikiran yang
terhimpun
dalam kepustakaan bahasa Melayu oleh seluruh masyarakat Melayu. Hal ini akan
memberikan
pengayaan pikiran masyarakat Melayu untuk terus berkreativitas dan
meningkatkan
tamadun. Menurut Abdullah mengatakan pula bangsa yang menggunakan
bahasa
sendiri dalam pembinaan tamadunnya mampu berkreativitas tinggi, seperti yang
diperlihatkan
oleh Jepang dan Korea. Sebaliknya, bangsa yang tertawan oleh bahasa asing,
seperti
bahasa bekas penjajahnya, menjadi lesu dalam kreativitasnya.
Berbagai
upaya sudah dilakukan melalui MABBIM untuk mengeliminir kevariasian
bahasa
Melayu antar negara, walau forum itu belum membicarakan secara serius gagasan
mengenai
Dialek Melayu Supra yang digagas oleh Abdullah Hassan. Demikianlah
umpamanya,
dalam aspek sistem ejaan Latin sudah dicapai keselarasan yang cukup tinggi.
Namun,
masih muncul kesulitan dalam mencapai keselarasan dalam aspek pelafalan. Saya
kira
MABBIM
harus bertindak lebih progresif lagi dan mencari cara-cara yang efektif untuk
mengimplementasikan
di lapangan berbagai keputusan yang sudah diambil. Kita ingat bahwa
pemikiran
untuk mencari keselarasan bahasa Melayu antar bangsa itu sudah dimulai sejak
1959
ketika konsep Ejaan Malindo disepakati, tapi akhirnya urung terlaksana karena
pecahnya
konfrontasi
antara Malaysia dan Indonesia tahun 1962 (Hassan dan Hussain 2000:171).
Barangkali
hal itu pula yang menyebabkan capaian-capaian dalam penyelarasan bahasa
Melayu
anytar bangsa itu, sebagaimana yang juga diupayakan melalui MABBIM, agak lambat
menampakkan
hasil yang nyata, khususnya dalam ragam tulis. Tumpuan usaha MABBIM
yang
hanya lebih fokus pada penyelarasan peristilahan perlu diperluas. Dalam konteks
ini,
upaya-upaya
untuk menggesa terwujudnya keselarasan bahasa Melayu itu, sekaligus untuk
untuk
membina karakter bangsa, baik dalam batasan nation-state maupun dalam arti
bangsa
Melayu
secara umum, ragam bahasa Melayu tulis harus diutamakan. Saya kira
implementasinya
di lapangan bisa dilakukan pula lewat sastra.
Menurut
saya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh kalangan sastrawan dalam
mewujudkan
peran sastra sebagai pembina karakter bangsa, baik dalam artian negara maupun
dalam
artian kesetiakawanan bangsa Melayu supranasional.
Pertama,
para sastrawan harus lebih banyak menulis tema-tema yang membangkitkan
rasa
saling pengertian antar negara di dunia Melayu. Hal itu, misalnya, bisa
dilakukan melalui
eksplorasi
latar cerita dan juga tokoh-tokoh cerita yang bersifat lintas negara. Itu dalam
konteks
kesetiawanan Melayu. Dalam lingkup satu negara, harus lebih banyak lagi
dilakukan
eksplorasi
yang lebih merepresentasikan hubungan antar etnis dan hubungan antar agama.22
Para
sastrawan jangan terkurung dalam ekslusivisme etnisitas dan agama
masing-masing.
Kedua,
para sastrawan sebaiknya berikhtiar menonjolkan akar-akar kemelayuan
dalam
karya-karya mereka dengan mengeksplorasi unsur-unsur sejarah dan budaya yang
tidak
dibatasi
oleh batas-batas kenegaraan modern seperti sekarang.
Ketiga,
distribusi karya-karya sastra, khususnya yang mengekplorasi perasaan
kesetiakawanan
Melayu, harus bersifat lintas negara. Sekat-sekat politik yang menghalangi
kelancaran
aliran distribusi buku-buku, khususnya buku-buku sastra, antara negara di dunia
Melayu
harus disingkirkan. Demikianlah umpamanya, karya-karya seperti itu yang terbit
di
Malaysia
dapat dengan mudah diperoleh di Indonesia, atau sebaliknya. Hal ini tentu bisa
diwujudkan
melalui kesepakatan antar pemerintahan.
Keempat,
memperkuat apresiasi sastra lintas negara dengan melalui multi media.
Misalnya,
ada program televisi di Indonesia yang membincangkan karya sastra Brunei atau
Malaysia.
Begitu juga sebaliknya. Ada rubrik khusus dalam surat-surat kabar Indonesia
untuk
membicarakan
sastra negara jiran seperti Malaysia, Brunei dan Singapura, baik oleh pengulas
dalam
negeri sendiri atau pengulas undangan dari negara-negara jiran tersebut. Bahkan
kalau
perlu,
kevariasian bahasa Melayu dalam rubrik khusus tersebut diperlihatkan saja,
tidak usah
diedit.
Dengan demikian para pembaca dari negara-negara yang berbeda dalam rumpun
Melayu
dapat saling mengetahui, kalaupun tidak sampai pada tahap memahami, karya-karya
sastra
di negara-negara jirannya, dan dapat pula merasakan kevariasian bahasa Melayu
itu.
Kelima
(dan ini memyangkut program jangka panjang) adalah mencari aksara
alternatif
selain Latin untuk mengkodifikasikan seluruh aspek yang terkait dengan minda
22
Menarik misalnya melihat hubungan antar agama antara tokoh Tantri (Islam) dan
Hiang Nio (Khatolik) dalam
Orang
Buangan karya Harijadi S. Hartowardoyo (1971; pertama kali terbit tahun 1967
dengan judul Munafik)
dan
antara tokoh Ida (Islam) dan Sumarto (Khatolik) dalam Keluarga Permana karya
Ramadhan K.H. (1978).
Unsur
hubungan antara agama ini sebagai pendorong kesatuan bangsa (dalam konteks ini
Indonesia), dapat pula
dikesan
dalam Saman karya Ayu Utami (1998). Aspek hubungan antar agama dalam teks-teks
sastra belum
begitu
menonjol di Indonesia, terutama selama Orde Baru (1967-1998) karena pengarang
mungkin juga terkena
sindrom
ranjau SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan), dan oleh karenanya perlu
dipikirkan oleh para
sastrawan
dalam rangka memfungsikan sastra sebagai elemen untuk menjga kesatuan bangsa.
Melayu.
Aksara Latin adalah representasi dari dominasi Barat. Mungkin kalangan ilmuwan
bahasa
dan budaya serta para pakar teknologi dapat memikirkan untuk mengembangkan
kembali
aksara Jawi. Dengan begitu, identitas kemelayuan bisa diperkuat kembali.
Mungkin
usulan
ini terkesan naïf. Tapi, cara ini adalah salah satu jalan jangka panjang untuk
membuat
gerakan
oksidentalisme di dunia Melayu.
Kesimpulan
Sebelum
kedatangan bangsa Eropa, bangsa Melayu, walau memiliki keragaman budaya
tempatan,
telah disatukan oleh sebuah bahasa yang telah lama menjadi lingua franca di
rantau
Nusantara yang luas ini, yaitu bahasa Melayu. Dengan „kendaraan‟ bahasa Melayu
itu,
terbentuklah dunia sastra Melayu yang berabad-abad sebelum kedatangan penjajah
Barat
telah menjadi satu unsur pemersatu rumpun Melayu. Sastra itu, yang diperkaya
oleh
unsur-unsur
agama Islam dan aksara Arab, menjadi elemen penting yang membentuk
kebudyaan
orang Melayu dan mempengaruhi karakter mereka.
Kedatangan
orang Barat dan invasi huruf Latin yang disertai dengan teknologi
percetakan
telah menggerus eksistensi sastra Melayu itu, walaupun masih sempat bertahan
selama
paroh kedua abad ke-19. Pada awal abad kedua puluh ciri kemelayuan sastra itu
bergeser
ke lingkup yang lebih kecil seiring dengan munculnya gerakan-gerakan
nasionalisme
di dunia Melayu menentang penjajahan Belanda dan Inggris. Pada akhir
zaman
colonial sastra sangat berperan jelas dalam membangkitkan dan menggelorakan
perasaan
nasionalisme di kalangan bangsa-bangsa dalam rumpun Melayu. Sastra memberi
semangat dan ikut menumbuhkan karakter calon-calon bangsa yang berusaha
memerdekakan
diri dari belenggu penjajahan. Walaupun demikian, rasa kesetiakawaanan
Melayu
masih lagi terasa pada masa itu: para sastrawan dan intelektual dari Wilayah
jajahan
Hindia Belanda dan Melayu Inggris di Semananjung Malaya masih saling
berketahuan
dan saling mendukung inspirasi untuk mencapai kemerdekaan melalui wacana
politik,
budaya, dan juga sastra. Kesetiakawanan Melayu itu masih terus berlanjut sampai
tahun
1950-an.
Pada
masa-masa selanjutnya dunia sastra cenderung menjadi ekslusif mengikuti
batas
negara. Dunia sastra kehilangan elan vitalnya sebagai wacana pemersatu rumpun
Melayu.
Sistem politik rezim-rezim yang memerintah di negara-negara Melayu pasca
kolonialisme
telah menyebabkan negara sendiri cenderung melihat sastra sebagai „lawan‟
dan
oleh karenanya sering disensor. Keadaan ini benar-benar terbalik dari masa
sebelumnya
di mana sastra justru menjadi (atau dijadikan) sarana yang penting untuk
mendorong
semangat nasionalisme dalam usaha mencapai kemerdekaan dari penjajah.
Namun
demikian teks-teks sastra tetap menjadi ladang bagi perumusan identitas
kebangsaan.
Sejak
tahun 1970-an sampai sekarang berbagai usaha telah dilakukan dalam
memperkuat
lem perekat antara sesama bangsa dalam rumpun Melayu. Gerakan itu
terutama
dimotori oleh Indonesia dan Malaysia. Salah satu di antaranya adalah melalui
MABBIM
dan berbagai macam pertemuan para sastrawan serantau Melayu. Namun,
gerakan-gerakan
untuk membangkitkan kembali semangat kemelayuan supranasional itu
menghadapi
berbagai tantangan pula: gerakan politik dan kebudayaan di dunia Melayu,
sebagai
akibat dari pengaruh globalisasi dan politik imperialism modern, sering
menimbulkan
gesekan-gesekan budaya dan politik di antara bangsa-bangsa di dunia
Melayu.
Dalam
menghadapi perkembangan politik dan budaya di dunia Melayu dewasa ini,
kaum
satrawan seyogiyanya mengambil peran aktif dan melakukan tindakan proaktif.
Melalui
dunia yang digelutinya, kaum sastrawan lintas negara dalam rumpun Melayu harus
berupaya
mempromosikan semangat kemelayuan sebagaimana dulu pernah dilakukan oleh
nenek
moyang orang Melayu. Sastra dan kaum sastrawan harus berusaha merebut kembali
peran
penting yang dulu pernah dilakoni oleh para pendahulu mereka di Zaman
Pergerakan.
Untuk itu, seperti halnya para pendahulu mereka dulu, kaum sastrawan
sekarang
haruslah berusaha mengapungkan tema-tema yang mampu menggugah
masyarakat
untuk kembali memperkuat semangat kemelayuan melewati batas-batas politik
dan
administrasi Negara dalam karya-karya mereka. Hal itu tentu harus dimulai dari
diri
mereka
sendiri: kaum sastrawan dari berbagai negara di dunia Melayu harus berpikiran
terbuka
dan mampu menempatkan dirinya pada level supranasional.
Kepustakaan
Adam,
Ahmat. 1995. Vernacular press and the emergence of modern Indonesian
consciousness (1855-1913). New York: Cornell University Southeast Asia
Publications.
Aeusrivongse,
Nidhi. 1976. „Fiction ans history: a study of pre-war Indonesian novels and
novelist
(1920-1942)‟ [PhD dissertation, The University of Michigan].
Anderson,
Benedict. 1983. Imagined communities: reflections on the origin and spread of
nationalism.
London: Verso.
Asmah
Haji Omar. 2004. Muafakat bahasa: Sejarah MBIM/MABBIM sebagai pembina
bahasa.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
27
-------------------------.
2010. Carik-carik bulu ayam: kisah runding bahasa dunia Melayu.
Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Aziz,
Sohaimi Abdul. 2003. Syeikh Tahir Jalaluddin: pemikir Islam. Pulau Pinang:
Penerbit
Universiti
Sains Malaysia.
Bogaert,
Els and Remco Raben 2012. Beyond empire and nation: decolonizing societies in
Africa
and Asia, 1930s -1970s. Leiden: KITLV Press.
Budianta,
Melani. 2007. “Diverse voices: Indonesian literature and nation-building”, in:
Lee
Hock
Guan dan Leo Suryadinata (eds.), Language, nation and development in
Southeast
Asia, pp. 51-73. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Chaniago,
Hasril. 2010. 101 orang Minang di panggung sejarah. Padang: Citra Budaya
Indonesia.
Cho
Tae Young. 2012. Aksara Serang dan perkembangan tamadun Islam di Sulawesi
Selatan.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Derks,
Will. 2001. “A literary mycelium: some prolegomena for a project on Indonesian
literature
in Malay”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 32,3; 367-384.
Dewall,
H. von. 1857. “Eene inlandsche d rukkerij te Palembang”, Tijdschrift van
Bataviaasch
Genootschap
6,3: 193-198.
Diehl,
Katharine Smith. 1990. Printers and printing in the East Indies to 1850, vol.1:
Batavia.
New
Rochelle, NY: Caratzas.
Djamin
dan Tasat. 193?. Sja’ir Anggoen Tji’Toenggal. Batavia: Balai Poestaka.
Djamin,
Nasjah. 1968. Malam Kuala Lumpur. Jakarta: Pembangunan.
Dt.
Radjo Panghulu, M. Rashid Manggis. 1989. Malin Deman. Bukittinggi : Pustaka
Indonesia.‟
Freidus,
Alberta Joy. 1977. Sumatran contributions to the development of Indonesian
literature,
1920-1942. Honolulu : Asian Studies Program, University of Hawaii.
Foulcher,
Keith. 1993. “Literature, cultural politics, and the Indonesian revolution”,
in: D.M.
Roskies
(ed.), Text/politics in island Southeast Asia: essays in interpretation, pp.
221-
256.
Athens, Ohio: Ohio University Center for International Studies Monograph in
International
Studies (Southeast Asia Series Number 91).
-------------------.
1995. “In search of the postcolonial in Indonesian literature”, Sojourn X,2:
147-171.
Gallop,
Annabel Teh. 1990. “Early Malay printing: an introduction to the British
Library
collection”,
Journal of Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society 63,1: 85-124.
28
Gelb,
Ignace Jay. 1952. A study of writing: the foundation of grammatology. Chicago:
The
University
of Chicago Press.
Gullick,
John Michael. 2003. A history of Negri Sembilan. Kuala Lumpur: MBRAS
[Malaysian
Branch of the Royal Asiatic Society Monograph no. 33.].
Hamka.
1938. Tenggelamnja kapal Van der Wijck. Medan: Pedoman Masjarakat.
Hamka.
1940. Merantau ke Deli. Medan: Centrale Courant.
Hardjosoemarto,
S. dan Aman Dt. Madjoindo. 1932. Rusmala Dewi: pertemoean Djawa dan
Andalas.
Batavia C.: Balai Poestaka.
Hartowardoyo,
Harijadi S. 1971. Orang buangan. Djakarta: Pustaka Jaya.
Hassan,
Abdullah. 1998. “Dialek Melayu Supra untuk melangsungkan bangsa Melayu”,
makalah
pada Persidangan Pengajian Melayu Sedunia: Pengajian Melayu Memasuki
Alaf
Baru [Kuala Lumpur, Pusat Pengajian Melayu, Universiti Malaya, 28-30 Ogos
1998].
Hassan,
Abdullah dan Khalid M. Hussain. 2000. Pendeta Za‘ba dalam kenangan. Kuala
Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Heinschke,
Martina 1993. Angkatan 45: literaturkonzeptionen im gesellschaft politi chen
kontext:
zur funktionsbestimmung von literatur im heading colonials Indonesien.
Berlin
& Hamburg: Reimer.
Hoffman,
John. 1979. “A foreign investment: Indies Malay to 1901”, Indonesia 27: 65-92.
Hoilul
Amri bin Tahiran et al. 2005. Dari gerhana ke puncak purnama: biografi Asas
‘50: 55
tahun
dalam persuratan. Singapura: Angkatan Sasterawan „50.
Idris,
Abdul Samad. 1968. Negeri Sembilan dan sejarah-nya. Kuala Lumpur: Sharikat
Perchetakan
Utusan Melayu Berhad.
Iskandar,
Nur Sutan. 1944. Tjinta Tanah Air. Djakarta: Balai Poestaka.
Djojopuspito,
Suwarsih. 2000. Manusia bebas. Jakarta: Penerbit Djambatan (Cet. ke-2).
Kaptein,
Nico. 1993. “An Arab printer in Surabaya in 1853”, Bijdragen tot de Taal-,
Land- en
Volkenkunde
149,2: 356-362.
Mahkota,
Ambas. 1962. Anggun Nan Tungga Magek Djabang dengan Puti Gondoriah.
Bukittinggi:
Pustaka „Indonesia‟.
Maier,
Henk. 2002. “Stammer and the creaking door: the Malay writings of Pramoedya
Ananta
Toer”, in: Keith Foulcher and Tony Day (eds.), Clearing a space: postcolonial
readings
of modern Indonesian literature, pp. 61-83. Leiden: KITLV Press.
29
Moriyama,
Mikihiro. 2005. Sundanese print culture and modernity in 19th century West
Java.
Singapore:
NUS Press.
Negoro,
Adi. 1927. Darah moeda. Weltevreden: Balai Poestaka.
---------------.
1928. Asmara djaja. Weltevreden: Balai Poestaka.
---------------.
1930. Kembali dari perlawatan ke Europa, Djilid I. Medan - Deli: N.V. Handel
Mij.
& Drukkerij Sjarikat Tapanoeli.
Newbold,
J.T. 1835. Sketch of the four Menángkăbowe States in the interior of the
Malayan
Peninsula”,
Journal of the Asiatic Society of Bengal 14 (January to December): 241-
252.
Nita,
Roma. 1941. Ratoe Boelan dari Kuala Lumpur. Fort de Kock: Penjiaran Ilmoe.
Oemardjati,
Boen S. 1972. Chairil Anwar: the poet and his language. The Hague: The
Netherlands
Book and Steendrukkerij v/h Smits.
Peeters,
Jeroen. 1993. “Palembang revisited: further notes on the printing establishment
of
Kemas
Haji Muhammad Azhari, 1848”, in: Paul van der Verlde (ed.), IIAS Yearbook
1995,
pp. 181-190. Leiden: IIAS.
Phillips,
Nigel. 1981. Sijobang: sung narrative poetry of West Sumatra. Cambridge:
Cambridge
University Press.
Proudfoot,
Ian. 1993. Early Malay printed book: a provisional account of materials
published
in
the Singapore-Malaysia area up to 1920, noting holdings in major collections.
Kuala
Lumpur: Academy of Malay Studies and The Libray of University of Malaya.
--------------------.
1998. “Lithography at the crossroads of the East”, Journal of the Printing
Historical
Society 27: 113-131.
Putten,
Jan van der. 1997. “Printing in Riau, two steps toward modernity”, Bijdragen
tot de
Taal-,
Land- en Volkenkunde 153,4: 717-736.
Ramadhan
K.H. 1978. Keluarga Permana. Jakarta: Pustaka Jaya.
Ritter,
W.L. 1843. “Lythographie”, Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië 5,1: 782-783.
Rivai,
Sitti Faizah. 1963. „Roman pitjisan Indonesia sebelum perang” [Thesis S1
Fakultas
Sastra,
Universitas Indonesia].
Roff,
William R. 1967. The origin of Malay nationalism. New Haven, Conn. [etc.]: Yale
University
Press (Yale Southeast Asia Studies 2).
Rolvink,
R. 1950. “De Indonesiase „dubbeltjesroman‟”, dalam: Anton A. Cense et al.
(eds.),
Bingkisan
budi: een bundel opstellen aan Dr Philippus Samuel van Ronkel door
vrienden
en leerlingen aangeboden op zijn tachtigste verjaardag, 1 Augustus 1950, pp.
255-264.
Leiden: A.W. Sijthoff‟s Uitgeversmaatschappij N.V.
30
Roskies,
D.M. 1988. Imperial perceptions: examples of colonial fiction from the
Netherlands
East
Indies. Canterbury: University of Kent, Centre of South-East Asian Studies.
Semaoen.
1920. Hikajat Kadiroen. Semarang: Kantoor P.K.I.
Santosa,
Puji dan Maini Trisna Jayawati. 2011. Dunia kesastraan Nasjah Djamin dalam
novel
Malam
Kuala Lumpur. Yogyakarta: Almatera Publishing.
Sariyan,
Awang. 2012. “Keantarbaangsaan dan pengantarbangsaan bahasa Melayu dan
pendidikan
bahasa Melayu: catatan perkembangan, isu dan cadangan”, proceedings of
2012
DMIT International Conference „Issues and Challenges in Malay-Indonesian
Studies‟,
pp. 15-54. Department of Malay-Indonesian Interpretation and Translation,
Hankuk
University of Foreign Studies, Seoul, 14 September 2012.
Shin
Yoon-Hwan. 2012. “Bahasa Malaysia/Indonesia sebagai bahasa resmi pada komunitas
Asia
Timur”, proceedings of 2012 DMIT International Conference „Issues and
Challenges
in Malay-Indonesian Studies‟, pp. 3-13. Department of Malay-Indonesian
Interpretation
and Translation, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, 14
September
2012.
Sudarmoko.
2008. Roman pergaoelan. Yogyakarta: INSISTPress.
Suryadi.
1998. Basimalin: pengantar teks dan transliterasi. Depok: Fakultas Sastra
Universitas
Indonesia.
---------.
2010. “„Roman Indonesia‟: sebuah seri sastra pop yang pernah terbit di Padang”,
Padang
Ekspres, Minggu, 3 Januari.
---------.
2012. “Pesan „Malam Kuala Lumpur‟ untuk Numera”, Haluan, Sabtu, 17 Maret.
Sweeney,
Amin. 1994. “Aboard two ships: Western assumptions on medium and genre in
Malay
oral and written traditions”, in: C. Andrew Gerstle and Anthony Milner (eds.),
Recovering
the Orient: artists, scholars, appreciations, pp. 317-338. Chur [etc.]:
Harwood
Academic Publishers (Studies in anthropology and history; vol. 11).
-------------------.
2000. “The Dutch impact: four generations observed”, paper presented at
ATMA-KITLV
Colloquium on Dutch Scholarship and the Malay World: A Critical
Assessment
[Bangi, 20-21 November 2000].
Tan,
Eugene K.B. 2007. “The multilingual state in search of the nation: the language
policy
and
discourse in Singapore‟s nation-building”, in: Lee Hock Guan and Leo
Suryadinata
(eds.), Language, nation and development in Southeast Asia, pp. 74-117.
Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies.
Teeuw,
A. 1997. “The ideology of nationalism in Pramoedya Ananta Toer‟s fiction”,
Indonesia
and the Malay World 73: 252-269.
Thukul,
Wiji. 1988. Sajak Protes. Jakarta: Lembaga Press Mahasiswa Universitas
Nasional.
----------------.
2000. Aku ingin jadi peluru: sajak-sajak. Magelang: Indonesia Tera.
Utami,
Ayu. 1998. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
31
Wang
Gungwu. 2005. Nation-building: five Southeast Asian histories. Singapore:
Institute of
Southeast
Asian Studies.
-------------------.
2007. “Keynote address”, in: Lee Hock Guan and Leo Suryadinata (eds.),
Language,
nation and development in Southeast Asia, pp. ix-xvii. Singapore: Institute
of
Southeast Asian Studies.
Wieringa,
E.P. 1998. Catalogue of Malay and Minangkabau manuscript in the Library of
Leiden
University and other collections in the Netherlands, Vol. One. Leiden:
Legatum
Warnerianum in Leiden University Library.
Winstedt,
Richard O. 1914. Hikajat Anggun Che Tunggal. Singapore: Methodist Publishing
House.
Winstedt,
R.O. and A.J. Sturrock. 1908. Hikayat Malim Deman. Singapore: Methodist
Publishing
House.
Zaidan,
Abdul Rozak dan Dendy Sugondo. 2003. Adakah bangsa dalam sastra? Jakarta:
Penerbit
Progres dan Pusat Bahasa.
Zonneveld,
Peter van. 1996. Looking back, back talk and write back: Louis Couperus, E. du
Perron
and Suwarsih Djojopoespito. Leiden: Department of Languages and Cultures
of
Southeast Asia and Oceania Rijksuniversiteit Leiden (Semaian 15).
Langganan:
Postingan (Atom)