Rabu, 12 Desember 2012





lukisan perang samalanga 1878
rumah aceh 1890

bendera atjeh pada abad ke 17

jatuhnya benteng aceh di gayo

document

 fhoto bersama mahasiswa ISI seindonesia di pade sikek dalam rangka kegiatan surfrise ke 5 yang di laksanakan di isi padang panjang.
 salah satu motif kerawang gayo yang terdapat di aceh tengah
 danau laut aceh tengah
 nelayan yang sedang mencari ikan depik di danau laut tawar
 ton waih atau tempat air yang di buat dengan kain yang di hiasi dengan motif kerawang gayo, dan ini merupakan salah satu kerajinan kerawang gayo aceh tengah
 umah edet pitu ruang aceh tengah
depik pengat ala gayo

peran sastra melayu dalam pembentukan karakter bangsa



Oleh: Suryadi

Pendahuluan
Sastra dan pembangunan bangsa (literature and nation-building) adalah salah satu wacana
yang sudah lama menjadi topik diskusi dalam dunia akademik. Khusus di negara-negara
bekas jajahan Eropa di Asia, Afrika dan Amerika Latin, sastra sering dianggap telah ikut
memberikan kontribusi penting dalam melahirkan kesadaran nasional di kalangan kaum
pribumi yang akhirnya berhasil menjungkalkan hegemoni para penjajah di negeri mereka.
Umumnya founding fathers negara-negara pasca kolonial di luar Eropa adalah intelektual-
intelektual pribumi yang memperoleh semangat anti penjajahan melalui bacaan-bacaan sastra
yang justru berasal dari khazanah sastra Eropa sendiri. Fenomena ini juga terlihat di negara-
negara pasca kolonial di dunia Melayu, khususnya Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Banyak
intelektual pribumi penentang penjajajahan bangsa-bangsa asing di negeri mereka adalah
pembaca karya-karya sastra dan banyak juga memproduksinya tempat mereka menanam dan
menggelorakan semangat nasionalisme bangsanya untuk membebaskan diri mereka dari
belenggu penjajahan. Sejarah telah mencatat bahwa Angkatan 45 di Indonesia (lihat:
Heinschke 1993) atau Angkatan Sasterawan „50 (atau Asas „50) di Semenanjung Malaya
(lihat: Hoilul Amri bin Tahiran et al. 2005), misalnya, telah memainkan perannya sebagai
motor penggerak dalam menggelorakan semangat nasionalisme dan membangun rasa
kebangsaan di dunia Melayu pada paroh pertama abad ke-20.
Makalah ini mendiskusikan potensi sastra Melayu dalam pembentukan karakter
bangsa-bangsa di dunia Melayu dan semangat kemelayuan supranasional. Istilah „sastra
Melayu‟ dalam konteks ini diartikan agak lebih luas, yang tidak hanya menyangkut zaman
lampau (klasik), tapi juga zaman modern. Saya akan melakukan tinjauan historis untuk
menapaktilasi peran yang telah dimainkan oleh dunia sastra di zaman kolonial dan pasca
kemerdekaan negara-bangsa di dunia Melayu, dan proyeksinya di masa depan, dengan

Makalah pada Seminar Internasional dan Festival Seni Melayu Asia Tenggara „Rediscovering the Treasures of

Malay Culture‟ yang diselenggarakan oleh Institut Seni Indonesia Padangpanjang, Sumatra Barat, 25-29
November 2012.
2 Dosen/peneliti kajian bahasa, sastra dan budaya media di Indonesia di Leiden University Institute for Area
Studies (LIAS), Leiden, Belanda. Alamat email: s.suryadi@hum.leidenuniv.nl.


mempertimbangkan     faktor-faktor   kebahasaan      (bahasa            Melayu/Indonesia)      yang    terus
mengalami dinamika dan sastra sendiri sebagai sebuah konvensi wacana yang terus-menerus
pula berubah sesuai dengan perjalanan waktu, serta aspek-aspek budaya lainnya. Analisis
tekstual pada teks-teks sastra tertentu akan dilakukan untuk memperkuat argumen-argumen
yang dikemukakan.


Perspektif teori
Hingga sekarang masih terdapat persilangan pendapat mengenai hubungan antara sastra dan
proses nation building dan pembentukan karakter bangsa sebagai bagian dari nation-building
itu. Ada yang berpendapat bahwa sastra telah menjadi model dan memberikan gagasan
konkrit dalam pembangunan bangsa, khususnya di negeri-negeri jajahan Eropa. Sebaliknya,
ada pendapat yang mengatakan bahwa sastra nasional sebuah bangsa lahir justru setelah
bangsa itu wujud. Artinya: sebuah negara-bangsa (nation-state) terbentuk terlebih dahulu,
baru kemudian terbentuk sastranya.
Di Indonesia, perdebatan ini antara lain terefleksi dalam buku Adakah Bangsa dalam
Sastra yang diedit oleh Abdul Rozak Zaidan dan Dendy Sugondo (2003). Demikianlah
umpamanya, Budi Darma dalam artikelnya dalam buku itu berpendapat bahwa sastra
bukanlah penyebab tapi lebih merupakan akibat dari wujudnya bangsa Indonesia yang
memerdekakan diri dari penjajah tahun 1945. Namun, kajian-kajian lain menunjukkan bahwa
sastra sangat berperan penting dalam tahap awal pembentukan bangsa Indonesia (Foulcher
1993; Budianta 2007). Pada tahap itu sastra sudah berperan sebagai salah satu inang yang
penting dalam menyemaikan benih nasionalisme di akhir zaman kolonial di Indonesia. Tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa kadar politik dalam narasi teks-teks sastra Indonesia, sejak
zaman Balai Pustaka sampai Angkatan 2000, tetap menonjol, meskipun di sisi lain juga
muncul gerakan untuk memperjuangan „seni untuk seni‟. Demikianlah umpamanya, puisi-
puisi Indonesia lebih diramaikan oleh „pamflet-pamflet‟ politik ketimbang renungan-renungan
yang individualistik yang membawa sastra sebagai sebuah dunia independen seperti yang
terjadi di Barat.
Dalam sejarah pembentukan negara-bangsa di dunia Melayu, sastra jelas sangat
berperan penting dalam membangun narasi kebangsaan yang bersifat lintas etnis. Akan tetapi
proses nation-building dalam wacana sastra tidak bersifat linear dan singular yang cenderung
membawa masyarakat ke satu entitas politik yang bersifat tunggal dan seragam. Sebaliknya,
ia menyediakan ruang untuk diskusi dan dialog, bahkan debat, yang terus-menerus untuk
memperkaya dan mematangkan imajinasi dan konsepsi tentang bangsa. “[A]s a means for

constructing a sense of community, literature of […] a heterogeneous society [Indonesia] can
serve as the sites of competing and conflicting visions [about nation].” (Budianta 2007:57).
Dengan cara demikian, sastra telah ikut memainkan peran penting dalam menciptakan rasa
memiliki (sense of belonging) dalam tubuh bangsa-bangsa dalam rumpun Melayu, termasuk
di Indonesia. Sastra adalah salah satu perangkat lunak yang penting dalam membentuk
standardisasi budaya dan perluasan kewarganegaraan dan partisipasi politik masyarakat dalam
proses pembangunan bangsa di dunia Melayu.


Akar yang kuat: tradisi sastra Melayu di era aksara Jawi
Para kolonialis Eropa yang datang ke dunia Melayu mendapati sebuah tradisi sastra yang
sudah semula jadi di kawasan ini, dengan aksara Jawi dan bahasa Melayu sebagai wadah
untuk mengekpresikannya. Tradisi pernaskahan Nusantara itu digerakkan oleh scriptorium-
scriptorium yang berbasis di institusi-institusi agama dan istana-istana lokal di dunia Melayu.
Hal itu berlangsung paling tidak sejak abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-19.
Selain itu, repertoar-repertoar tradisi lisan menunjukkan hubungan yang erat antara
berbagai wilayah di dunia Melayu. Satu teks ditemukan versinya di berbagai daerah, sebuah
bukti yang lebih dari cukup untuk menunjukkan kesatuan bangsa Melayu dalam
keragamannya. Demikianlah umpamanya, ada Kaba Malin Deman dan Anggun Nan Tungga
di Minangkabau yang variannya di Semenanjung Melayu dikenal sebagai Hikayat Malim
Deman3 dan Hikayat Anggun Cik Tunggal.4 Migrasi puak-puak Melayu yang terjadi sejak
masa lampau, sebelum para pejajah Eropa datang ke kawasan ini, telah melahirkan hubungan
budaya yang erat antara satu daerah dengan daerah lainnya di rantau yang luas ini. Sekedar
menyebut contoh, Negeri Sembilan di Malaysia telah lama menjadi tanah perantauan awal
orang Minangkabau (lihat: Newbold 1835; Idris 1968; Gullick 2003). Demikian juga halnya
banyak puak lainnya yang telah berpindah-pindah ke sana ke mari di wilayah Melayu
Nusantara yang luas ini sambil membawa budayanya sendiri dan mengadopsi budaya
tempatan. Di masa kemudian perpindahan itu telah didorong pula oleh represi-represi yang
dilakukan oleh kolonialis. Banyak intelektual dan juga orang awam dari berbagai tempat di
Sumatra yang berada di bawah tekanan penjajah Belanda terpaksa hijrah ke Semenanjung
3 Untuk versi Minangnya, lihat antara lain Dt. Rajo Panghulu (1989) dan Suryadi (1998) dan untuk versinya
yang ditemukan di Semenanjung Malaya, lihat antara lain Winstedt dan Sturrock (1908).
4 Untuk versi Minangkabau teks ini, lihat misalnya Leiden Cod. Or. 2006 (1) (Wieringa 1998:224), Mahkota
(1962) dan analisisnya oleh Phillips (1981). Pemelayuan versi Minangkabau ini dilakukan oleh Djamin dan
Tasat (193?). Untuk versinya yang dikenal di Semenanjung Malaya, lihat misalnya Winstedt (1914).
Malaya yang berada di bawah kekuasaan kolonialis Inggris yang dianggap lebih baik kepada
orang pribumi.
Sejak 1828 teknik percetakan cap batu (lithography) diperkenalkan di dunia Melayu.
Mula-mula percetakan seperti ini hanya dimiliki oleh pemerintah kolonial dan para misionaris
Eropa yang menggunakannya untuk mencetak dokumen-dokumen pemerintah, buku-buku,
atau terjemahan Injil untuk kepentingan penyebaran agama Kristen di dunia Melayu, seperti
yang mereka lakukan di Batavia, Penang dan Melaka. Kemudian kaum pribumi dan keturunan
Arab mengadopsinya untuk mencetak buku-buku sendiri yang berbahasa Melayu dan
beraksara Jawi dalam bentuk kitab, hikayat, dan syair yang isinya sering merepresentasikan
unsur-unsur agama Islam (Proudfoot 1983). Umumnya penerbit-penerbit pribumi yang
memakai teknik cetak (cap) batu muncul itu di beberapa bandar yang penting seperti di
Palembang, Pulau Penyengat, Singapura, Batavia, dan Surabaya.5 Mendekati akhir abad ke-19
teknik cap batu digantikan oleh teknologi cetak modern.
Memasuki paroh kedua abad ke-19 tradisi keberaksaraan cetak yang diperkenalkan
oleh kolonialis Eropa mulai mempengaruhi kehidupan orang Melayu. Penguasaan teknologi
percetakan oleh orang Melayu telah melahirkan budaya membaca buku. Teknologi percetakan
jelas mampu menggandakan bahan tertulis lebih banyak dan jauh lebih cepat dibanding
teknologi penyalinan dengan tulisan tangan di era naskah, dengan wilayah jangkauan yang
lebih luas. Efek percetakan inilah yang kemudian melahirkan tradisi sastra Melayu awal yang
belum disekat oleh batas-batas nasionalisme seperti sekarang.
Beberapa ahli telah membahas peran tradisi percetakan sebagai faktor pencetus
gerakan nasionalisme di dunia Melayu di mana genre sastra memainkan perang yang penting.
Penguasaan tradisi percetakan oleh kaum pribumi telah melahirkan surat kabar pribumi yang
menjadi „jembatan penghubung‟ komunikasi antara berbagai puak di dunia Melayu, yang
pada gilirannya memberi kesadaran kepada mereka akan adanya perbedaan dengan subjek
penjajah (lihat Roff 1967; Anderson 1983; Adam 1995). Menurut Anderson, kapitalisme
cetak telah memberi ruang untuk menciptakan perasaan partisipasi dan keanggotaan dalam
sebuah komunitas yang melewati batas-batas etnis. Para pembaca surat kabar dari kalangan
pribumi “to whom they were connected through print, formed, in the secular, particular,
visible invisibility” adalah “the embryo of nationally-imagined communities” (Anderson
1983:47).

5 Lebih jauh mengenai aktifitas percetakan pribumi di dunia Melayu di era teknologi cap batu, lihat Ritter
(1843), Dhiel (1990), Gallop (1990). Lihat juga Dewall (1857) dan Peeters (1996) mengenai Palembang,
Proudfoot (1993) dan (1998) yang banyak membicarakan penerbit-penerbit pribumi di Singapura, Kaptein
(1993) mengenai Surabaya, dan Putten 1997 mengenai Pulau Penyengat, Riau.


Namun, di sini saya ingin lebih menyorot fungsi industri percetakan pribumi yang
telah mentransformasikan sistem sastra Melayu sedemikian rupa sehingga ia menjadi simbol
yang lebih jelas untuk menunjukkan identitas kaum pribumi sendiri. Hal itu terjadi seiring
dengan pengambilalihan fungsi scriptorium institusi-insitusi agama dan istana oleh industri
percetakan pribumi tersebut. Dalam konteks ini, aksara Jawi sangat berperan penting untuk
memberi penanda yang jelas dan karakter yang kuat bagi identitas kemelayuan yang terkait
dengan agama Islam. Peminjaman satu aksara selalu bersamaan dengan penyebaran sebuah
tamadun dari mana aksara itu semula berasal. Meminjam kata-kata Ignace Jay Gelb (1952:
222) “tulisan hanya berada dalam tamadun, dan tiada tamadun tanpa tulisan.” Aksara Jawi
yang diturunkan dari aksara Arab adalah salah satu aksara yang selalu membawa tamadun
Islam ke dalam masyarakat manapun yang mengadopsi aksara itu, tak terkecuali di dunia
Melayu pada zaman lampau (Cho 2012), yang tidak aus oleh jarak geografi dan waktu dari
tempat asal aksara itu. Pengadopsian aksara Arab inilah yang telah memainkan peranan
jangka panjang sehingga melekatkan Islam sebagai ciri penting orang Melayu.
Sejarah sudah mencatat bahwa tradisi sastra Melayu di era aksara Jawi (abad ke-16-
19) telah menjadi salah satu unsur penting sebagai penanda bangsa Melayu. Hal itu secara
sadar atau tidak juga diangkat oleh para sarjana Eropa yang mengkaji teks-teks sastra Melayu
tersebut.6 Secara langsung atau tidak teks-teks sastra Melayu itu, baik dari genre kitab,
hikayat, syair, dan lain-lain, telah ikut berperan dalam membentuk sensibilitas budaya dalam
masyarakat Melayu. Inilah awal dimana sastra telah ikut memainkan peran dalam membentuk
karakter orang Melayu dan menjadi penanda pula bagi orang asing untuk menyebut bangsa
Melayu sebagai kelompok masyarakat yang memiliki tradisi sastra sendiri.
Teks-teks sastra Melayu di era aksara Jawi beredar dalam wilayah yang luas. Teks-
teks itu beredar melewati batas-batas administrasi kolonial yang diatur oleh Inggris dan
Belanda pada masa itu. Teks-teks seperti itu menjadi lambang kemelayuan dalam arti luas.
Batas-batas kenegaraan memang belum ada pada waktu itu, tapi batas-batas administrasi
kolonial sudah diatur oleh penjajah – suatu usaha untuk mencabik-cabik identitas
kemelayuan itu sendiri. Secara hakikat, teks-teks sastra Melayu pada waktu itu seolah menjadi
simbol untuk melawan pemgkotakan-pengkotakan administratif yang dibuat oleh para
penjajah yang mengapling-ngapling dunia Melayu sekehendak hati mereka sendiri. Teks-teks






6

Mengenai konstruksi pengetahuan tentang dunia Melayu sebagai „the Others‟ oleh para sasrjana Belanda sejak

zaman kolonial sampai akhir abad ke-20, lihat Sweeney (2000). Lihat juga Sweeney (1994) tentang bias
Eropasentris dalam melihat sastra Melayu di kalangan sarjana Eropa.

sastra Melayu itu memberikan gerakan resistensi terhadap batas-batas kolonial yang dibuat
oleh penjajah itu.
Usaha para kolonialis untuk menggusur aksara Jawi dengan menggantinya dengan
aksara Latin merupakan suatu strategi budaya yang sistematis yang dilakukan oleh penjajah
untuk mengubah karakter dan budaya masyarakat Melayu. Para penasihat budaya Pemerintah
Kolonial yakin bahwa dengan menyingkirkan aksara Jawi dari masyarakat Nusantara,
radikalisme Islam dapat diminimailisir (lihat misalnya Moriyama 2005 untuk wilayah Sunda),
dan tentu saja, langsung atau tidak, peran sastra Melayu sebagai simbol pemersatu orang
Melayu juga mengalami penggerusan. Melalui aksara Latin kolonialis mengutak-atik bahasa
Melayu dan berusaha melakukan standardisasi terhadapnya (lihat Hoffman 1979). Seperti
yang dapat kita saksikan kemudian, usaha ini boleh dibilang berhasil: sifat kemelayuan yang
semesta dari sastra Melayu beraksara Jawi terkikis akibat invasi hebat aksara Latin di dunia
Melayu.


Ide-ide tentang kebangsaan dalam Sastra di Zaman Pergerakan
Dengan semangat yang berbeda dengan zaman aksara Jawi, sastra terus memainkan peranan
dalam pembentukan bangsa di dunia Melayu. Peran penting sastra sebagai pembangun
karakter bangsa itu dapat dilihat pula di era 1920-an sampai 1940-an, saat aksara Latin praktis
telah mereduksi eksistensi aksara Jawi di dunia Melayu. Banyak teks sastra yang lahir dari
tangan para intelektual pribumi di zaman itu yang pada hakikatnya mengandung pemikiran-
pemikiran mengenai kebangsaan. Melalui karya-karya mereka, para sastrawan-intelektual itu
mengemukakan           gagasan-gagasan         mereka mengenai         sebuah bangsa merdeka          yang
membebaskan dirinya dari cengkeraman penjajah. Teks-teks sastra itu, secara ekplisit atau
implisit menawarkan gagasan-gagasan politik dalam upaya membebaskan bangsa Indonesia
dari belenggu penjajahan dan juga tranformasi-transformasi budaya untuk mewujudkan
sebuah bangsa merdeka di wilayah yang begitu luas dan beragam dari segi etnis, budaya, dan
agama. Banyak teks-teks sastra yang diproduksi oleh para intelektual pribumi pada waktu itu
mengandung ide-ide pembebasan, baik politik maupun budaya, dalam rangka menciptakan
sebuah kesadaran nation yang dicita-citakan untuk masa depan bersama.
Tentu tidak mungkin untuk mengemukakan seluruh hasil identifikasi mengenai
berbagai gagasan kebangsaan yang terkandung dalam teks-teks sastra di zaman itu dalam
makalah yang singkat ini. Saya hanya ingin menunjukkan beberapa aspek yang menonjol di
antaranya,        untuk   memberikan     gambaran         bagaimana       ide       mengenai         kebangsaan

direpresentasikan dalam teks-teks sastra di zaman itu. Saya mencoba melihatnya dalam ranah
dua genre sastra: puisi dan novel (roman).

Semangat kebangsaan dalam puisi
Puisi adalah genre yang sudah sejak awal menunjukkan peran pentingnya dalam pembentukan
gagasan mengenai kebangsaan. Dalam konteks ini, tiada contoh yang lebih jelas selain puisi-
puisi Chairil Anwar, salah seorang penyair terkemuka Angkatan 45. Saya agak urang
sependapat denga Keith Foulcher (1993:246) yang menyatakan bahwa Chairil Anwar dan
groupnya (Angkatan 45) “increasingly found themselves denying the political-ideological
context in which literature was produced [and] asserted that the autonomy of individual
artist, free from political movement, the precondition for genuine aesthetic movement” untuk
mengekspresikan pandangan mereka tentang „universal humanism‟. Bagi saya, puisi-puisi
Chairil Anwar seperti “Kerawang-Bekasi”, “Persetujuan dengan Bung Karno”, “Aku”, dan
lain-lain, justru sarat dengan muatan politik. Puisi-puisi Chairil mampu mengobarkan
semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang baru mekar pada pertengahan tahun 1940-an.
Puisi-puisi tersebut menyiratkan kesadaran Chairil Anwar untuk mengangkat martabat
bangsanya yang lama menjadi kawula yang terjajah. Dalam sebuah puisi tanpa judul yang
terbit dalam majalah Gelanggang (edisi 12 Desember 1948), Chairil mengekspresikan sikap
revolusionernya dengan kata (kunci) „bedil‟.


Sudah dulu lagi terdjadi begini7
Djari tidak bakal terandjak dati petikan bedil
Djangan tanja mengapa djari tjari tempat di sini
Aku tidak tahu tanggal serta alasan lagi
Dan djangan tanja siapa akan menjiapkan liang penghabisan
Jang akan terima pusaka: kedamaian antara runtuhan menara
Sudah dulu lagi, sudah dulu lagi
Djari tidak bakal terandjak dari petikan bedil.

Bahasa puisi-puisi Chairil Anwar juga dianggap memberikan corak dan semangat baru
terhadap bahasa Indonesia. Khairil dianggap mampu melakukan transformasi estetika dalam
perpuisian Indonesia (Oemardjati 1972). Dalam “Krawang Bekasi” Chairil mengingatkan
untuk tidak melupakan para pejuang kemerdekaan, agar generasi berikutnya meneruskan
perjuangan itu dan mengisi kemerdekaan yang telah direbut dari penjajah.



7 Puisi Chairil ini tak sulit ditemukan dalam antologi-antologi puisinya yang sudah pernah diterbitkan. Kutipan
ini sendiri didasarkan atas Foulcher (1993:237) karena di KITLV dan Universiteitsbibliotheek Leiden tidak ada
tersimpan eksemplar-eksemplar majalah Gelanggang.

Krawang Bekasi 8

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan bendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan
dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian.

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi


Chairil menggugah pembacanya dengan gagasan mengenai kemerdekaan dan upaya untuk
mempertahankannya. Ia seolah menyalurkan suara kaum muda Indonesia yang memiliki
gejolak emosi anti kolonial. Orientasi universalisme Chairil tidak mengurangi rasa cintanya
terhadap tanah airnya dan pandangan kritisnya terhadap bangsa Barat yang pintar dan berke
budayaan tinggi tapi suka menjajah bangsa-bangsa lainnya dan memperbudak sesama
manusia.          Chairil menangkap      energi  dari      semangat         kemerdekaan generasinya dan 8 Didasarkan atas Liauw dan Jassin (1974):129,131.

mengawetkannya dalam teks-teks puisinya. Dalam “Persetujuan dengan Bung Karno” ia
merepresentasikan tekad kaum muda untuk bergandeng bersisian dengan “Putra Sang Fajar”
dan Bapak Proklamator itu dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia menyerukan
agar generasinya (generasi muda) dan generasi tua saling bersatu dalam mengisi
kemerdekaan. Tapi di balik itu, puisi ini juga mengilatkan rasa gregetan kaum muda terhadap
generasi tua yang sejak hari-hari terakhir kekuasaan penjajah Jepang di Indonesia dianggap
agak mbalelo dalam menggesa kemerdekaan Indonesia.

Persetujuan dengan Bung Karno9

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu, dipanggang diatas apimu,
digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

Dalam sejarah perpuisian Indonesia persoalan kebangsaan tetap menonjol sampai sekarang.
Sepanjang sejarah Indonesia modern, puisi-puisi kaya dengan wacana politik tempat
terjadinya pergulatan pemikiran mengenai bangsa. Kritik terhadap praktek korupsi,
penderitaan kaum buruh, perilaku rezim otoriter terhadap rakyat10, dan lain sebagainya selalu
disuarakan dalam puisi modern Indonesia sampai hari ini.


Gagasan mengenai kebangsaan dalam novel Indonesia awal
Seperti halnya genre puisi, genre novel atau roman di Zaman Pergerakan telah berperan
penting dalam mengapungkan wacana kebangsaan, sebagaimana terefleksi dalam pendapat
Henk Maier (2002:69) yang dikutip di awal makalah ini. Teks-teks roman/novel di zaman itu
adalah ladang untuk menggelorakan semangat merdeka dan anti penjajahan. Demikianlah
umpamanya, dalam Hikajat Kadiroen karya Semaoen, terdapat dialog sebagai berikut.


Tadi saja soedah memberi keterangan, bahwa koempoelan kita [P.K. – Partai Kominis] berichtiar
mengadjak rajat mendjadi pinter dan koeat, soepaja achirnya kita bisa merdika mengoeroes negeri kita

9 Didasarkan atas Liauw dan Jassin (ibid.):107.
10 Tentang tema ini yang menyangkut Rezim Orde Baru, lihat puisi-puisi Wiji Thukul (1988; 2000). Wiji
Thukul sendiri disinyalir merupakan salah satu korban penghilangan sastrawan oleh Rezim Orde Baru. Dalam
puisi-puisinya Wiji Thukul mengeritik keras Rezim Orde Baru yang represif. Sampai sekarang kuburnya belum
ditemukan dan kematiannya sampai masih tetap menjadi misteri.
11

sendiri. Na, ini hal soenggoehlah perkara kebangsa‟an.[...]. Adapoen kalau bangsa kita Boemipoetra jang
kaja tahoe betoel maksoednja perkoempoelan kita, tentoe mereka soeka mengalah dan moefakat dengan
rajat dalam P.K. sebab P.K. maoe memoeliakan Se-anteronja rajat atau pendodoek Hindia.” (Samaoen
1920:121).

Hikajat Kadiroen mengandung propaganda Komunisme untuk menyadarkan rakyat Hindia
Belanda agar melawan sistem Kapitalisme yang bersekongkol dengan Pemerintah Kolonial.
Melalui narasi roman itu Semaoen mengajak pembaca (kaum intelektual pribumi) untuk
bergabung dengan Partai Komunis yang dipimpinnya. Semaoen menyadari pentingnya media
cetak seperti surat kabar untuk menyebarkan ide-idenya. Hikajat Kadiroen sendiri ditulis oleh
Semaoen ketika dia berada dalam penjara tahun 1919 karena terkena persdelict Pemerintah
Kolonial Belanda.
Judul roman masih memakai kata „hikayat‟, yang menyiratkan semangat sastra
Melayu lama yang masih tersisa di zaman aksara Latin yang makin berkuasa di dunia Melayu
sejak awal abad ke-20. Namun, jika diberi interpretasi lebih jauh, kata „hikayat‟ juga seolah
merepresentasikan rasa anti Barat dan anti kapitalisme, yang memang merupakan motif
penting perjuangan kaum Komunis di Hindia Belanda pada zaman itu. Banyak roman yang
terbit antara 1920-an sampai 1940-an berisi kisah-kisah perjuangan yang heroik menentang
penjajahan. Di samping itu tak sedikit pula yang mengekplorasi pemikiran-pemikiran
ideologis, baik yang berlabel agama maupun yang sekuler, bahkan juga komunisme dan
ateisme. Dalam Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito muncul tema tentang
perjuangan “proletar intelektual” Sudarmo dan Sulastri yang menjadi guru sekolah liar
(partikelir), yang dijepit oleh politik kolonial. Mereka lebih memilih hidup miskin asal dapat
bekerja untuk bangsanya sendiri. Perasaan kebangsaan itu antara lain dapat dikesan dalam
kutipan berikut ini:


Marti,
Do‟akan aku dapat bekerja dengan penuh cita-cita. Kau masih ingat, bahwa pertalian persaudaraan antara
kau dan aku harus mengekalkan kesetiaan kita akan sumpah kita berdua; bekerja bagi mereka yang
tertindas dan untuk Indonesia, tanah air kita bersama. (Jojopuspito 2000:18).

Manusia Bebas terbit untuk pertama kalinya dalam bahasa Belanda di Negeri Belanda pada
tahun 1940 dengan judul Buiten het gereel yang secara harfiah berarti „di luar rel‟. Suwarsih
secara berani telah mengemukakan ide-ide dan perasaannya mengenai kemerdekaan bangsa
Indonesia melalui bahasa milik si penjajah dan di negeri si penjajah sendiri (Zonneveld 1996).
Buiten het gereel adalah salah satu karya sastra yang banyak diperbincangkan oleh intelektual
Belanda. Namun, seperti yang dikemukakan oleh E. du Perron untuk pengantar edisi
12

Indonesia roman ini, apa yang dikemukakan dalam Manusia Bebas adalah perasaan “yang
nyata ada di kalangan orang nasionalis” dan dianggapnya akan berguna untuk mencapai
“„pengertian yang lebih baik antara putih dan sawo matang‟”11, suatu usaha yang tampaknya
dimaksudkan untuk menetralisir kekagetan orang Berlanda yang pernah terjadi ketika
membaca edisi pertama roman ini yang diterbitkan oleh seorang inteletual wanita pribumi
dalam bahasa mereka sendiri, bahasa penjajah yang selama beratus tahun dijauhkan dari
subjek terjajah di Hindia Belanda agar mereka tidak menjadi pintar dan membahayakan
hegemoni si penjajah di tanah jajahan mereka.
Dengan cara lain, sejumlah roman juga merepresentasikan keindonesiaan dalam plot
dan penokohan yang bersifat lintas etnis. Hal itu dapat dikesan dalam beberapa roman Zaman
Pergerakan karangan sastrawan Indonesia yang berasal dari Minangkabau. Sebuah bangsa
baru yang dicita-citakan mestilah keluar dari ekslusivisme etnisitas dengan berbagai ciri yang
menyertainya. Keindonesiaan yang dicita-citakan mestilah memberi ruang toleransi bagi
perbedaan budaya dan agama. Hubungan antara suku harus diperkuat, seperti terefleksi dalam
judul roman karangan S. Hardjosoemarto dan Aman Dt. Madjoindo, Rusmala Dewi:
Pertemuan Jawa dan Andalas (edisi pertama: 1932). Hubungan antar etnis itu sering
digambarkan melalui perkawinan, seperti dapat dilihat dalam hubungan perkawinan antara
Nurdin (Minangkabau) dan Rukmini (Sunda) dalam Darah Muda oleh Adi Negoro12 (edisi
pertama: 1927) dan Rustam (Minangkabau) dan Dirsina (Sunda) dalam Asmara Jaya (edisi
pertama: 1928) yang juga dikarang oleh Adi Negoro. Tema yang sama juga direpresentasikan
melalui tokoh Amiruddin (Minangkabau) dan Astiah (Jawa) dalam Cinta Tanah Air karangan
Nur Sutan Iskandar (edisi pertama: 1944), sebuah roman yang berlatar perjuangan merebut
kemerdekaan Indonesia. Hubungan antaretnis yang cukup mencolok juga terlihat pada diri
poniem (Jawa) dan Leman (Minangkabau) dalam Merantau ke Deli oleh Hamka (edisi
pertama: 1940). Hubungan kedua tokoh itu yang berasal dari etnis yang berbeda itu sangat
menentukan alur novel tersebut. Latar novel ini adalah daerah Deli dan Medan pada zaman
sebelum perang. Leman adalah perantau Minang yang berprofesi sebagai pedagang di Medan.
Sedangkan Poniem adalah seorang gadis Jawa langganan tetapnya yang bekerja menjadi
buruh di ladang tembakau di Deli. Akibat sering bertemu, mereka akhirnya saling jatuh cinta
dan sepakat untuk menikah. Banyak teman seperantauan Leman asal Minangkabau yang
memberikan komentar-komentar negatif atas pernikahan antaretnik itu. Mereka menilai
Leman sangat berani melanggar kelaziman pada waktu itu di mana banyak orang

11 Dikutip dari edisi 2000 oleh Penerbit Djambatan, halaman xv (lihat kepustakaan).

Namanya sering pula ditulis satu kata: „Adinegoro‟. Nama lengkapnya adalah „Djamaludin Adinegoro‟.

Minangkabau yang merantau cenderung akan menikahi gadis Minangkabau yang berasal dari
kampung sendiri, yang biasanya dipilihkan oleh keluarga matrilineal si laki-laki. Namun,
Leman melanggar adat resam itu. Dia ingin menikahi Poniem yang berasal dari etnis Jawa.
Pernikahan antara Leman dan Poniem berbuah bahagia. Usaha perniagaan Leman
menjadi maju. Akan tetapi, kejayaan itu pulalah yang menjadi membawa petaka kepada
rumah tangga Leman dan Poniem. Sebagaimana umumnya tipikal konflik rumah tangga di
Minangkabau, orang ketiga – biasanya salah satu pihak dari keluarga laki-laki atau perempuan
– mencampuri urusan rumah tangga satu pasangan suami-istri. Setelah mendegar usaha
dagang Leman berkembang di Medan, keluarganya di kampung datang menemui Leman
dengan maksud hendak mengawinkannya dengan seorang gadis dari kampung pilihan mereka
sendiri. Leman dipaksa kawin lagi dengan Mariatun, gadis sekampungnya yang masih
memiliki hubungan keluarga dengannya. Perkawinan kedua itu akhirnya membawa
kesengsaraan pada diri Leman. Melalui Merantau ke Deli, Hamka tidak saja mengeritik adat
Minangkabau, tetapi juga mulai memperkenalkan kemungkinan membina Indonesia baru
melalui pembauran antarentik. Hamka kembali menggarap tema perkawinan antaretnik ini
dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijk (terbit pertama kali dalam bentuk feuilleton dalam
Majalah Pedoman Masjarakat di Medan, 1938). Dalam novel itu Hamka memperkenalkan dua
tokoh yang berbeda etnis: Hayati (Minangkabau) dan Zainuddin (Bugis).
Tampaknya para pengarang dan intelektual asal Minangkabau di Zaman Pergerakan
sudah jauh melangkah ke depan: memikirkan konsep keindonesiaan. Nur Sutan Iskandar
(Sungai Batang, Maninjau, 3 November 1893 – Jakarta, 28 November 1975), Adi Negoro
(Talawi, Sumatra Barat, 14 Agustus 1904 – Jakarta, 8 Januari 1967) dan Hamka (Singai
Batang, Maninjau, Sumatra Barat, 17 Februari 1908 – Jakarta, 24 Juli 1941) adalah tiga
sastrawan Indonesia pada zaman itu yang menganut paham „terbuka‟, dalam arti bahwa
pemikiran mereka (yang direfleksikan melalui tokoh-tokoh dalam karya mereka) bersifat
lintas budaya dan „mengindonesia”. Umumnya novelis golongan ini sering „keluar‟ dari
wilayah kebudayaan etnisnya. Kebetulan ketiga pengarang di atas berasal dari etnis
Minangkabau, etnis yang terkenal dengan budaya merantau-nya yang tidak bersifat ekslusif.
Oleh karena sering bersentuhan dengan kebudayaan lain, mereka tidak „chauvinistik‟ dalam
melihat kebudayaannya sendiri. Mereka sanggup memandang budaya sendiri dengan objektif
dan dapat menerima ide-ide yang positif dari kebudayaan lain. Oleh karena itu mereka
mampu menghadirkan perspektif keindonesiaan yang multibudaya itu dengan lebih jelas
dalam karya-karyanya. Demikianlah umpamanya, pemikiran mengenai keindonesiaan itu
terefleksi dalam kalimat-kalimat Adi Negoro di bawah ini, dengan sedikit menyindir etnis

Jawa dan seolah secara implisit membanggakan sifat sukarela (voluntary) budaya merantau
orang Minangkabau:


Merantau ke negeri Seberang orang djawa ta‟ soeka, karena tjintanja besar sekali ketanah air. Tanah
airnja beloem lagi diperlebarnja, melainkan masih tinggal Djawa. Kalau anak-anak moeda angkatan
sekarang dan angkatan jang akan tiba, berladjar memandang tanah airnja selebar Indonesia Raja, tidaklah
akan dapat ganggoean tetek bengek kalau ia hendak merantau ketanah seberang, karena tanah seberang
itoe, baik Soematra, baik Borneo, baik Selebes atau Nieuw Guinea, ialah tanah airnja semata-mata,
bangsa-bangsa jang diam diatasnja tidak lagi akan disangkanja orang asing, melainkan saudaranja.
(Negoro 1930:5).

Dalam konteks ini, menarik membandingkan Nur Sutan Iskandar dan Adi Negoro di satu
pihak dan Hamka di lain pihak. Nur dan Adi Negoro menghadirkan perspektif yang berbeda
dengan Hamka. Dalam Cinta Tanah Air pasangan Amiruddin dan Astiah berhasil
melangsungkan perkawinan dan keduanya ikut dalam perjuangan untuk mencapai
kemerdekaan. Hambatan adat hampir tak berarti dalam hubungan cinta mereka. Dalam Darah
Muda pasangan Nurdin-Rukmini (Minang-Sunda) juga berhasil mewujudkan cinta mereka
sampai ke jenjang perkawinan. Begitu juga halnya dengan pasangan Rustam-Dirsina
(Minang-Sunda) dalam Asmara Jaya oleh pengarang yang sama. “Pemberontakan” terhadap
adat Minangkabau oleh pihak laki-laki (Nurdin dan Rustam) berhasil: mereka mampu
melewati rintangan adat dan budaya. Usaha pihak keluarga untuk memisahkan mereka dari
pasangan mereka yang berasal dari etnis Sunda (biasanya dengan cara menyuruh mereka
kawin lagi dengan gadis sekampung) berhasil mereka gagalkan atau mereka tolak.
Sebaliknya, Merantau ke Deli dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck berakhir dengan sad
ending. Nasib tragis dialami oleh pasangan Leman-Poniem (Minangkabau-Jawa) dalam
Merantau ke Deli dan pasangan Zainuddin-Hayati dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck.
Kedua pasangan itu tidak berhasil melanjutkan cinta mereka ke mahligai rumah tangga.
“Pemberontakan” terhadap adat yang mereka lakukan tidak berhasil dan membawa
kesengsaraan kepada mereka. Perbedaan itu menyiratkan suatu proses menuju keindonesiaan
yang lebih matang dan dewasa. Lepas dari gerakan romantisme yang menjadi trend dalam
dunia sastra di Hindia Belanda pada zaman itu, kedua novel karya Hamka tersebut seolah-
olah menyiratkan bahwa dari segi budaya, masih diperlukan perjuangan yang kuat untuk
mewujudkan bangsa Indonesia. Sekat-sekat etnisitas dengan segala kompleksitas budayanya
harus dibuka. Hal itu seolah-olah juga menyiratkan betapa kebhinnekaan dalam pluralisme
masyarakat Indonesia yang berbilang etnis ini masih harus diperjuangkan dengan gigih dan
masih dalam proses pematangan.

Karya-karya sastra Indonesia di era selanjutnya juga pekat dengan ideologi
nasionalisme. Pramoedya Ananta Toer adalah salah seorang pengarang yang menonjol dalam
hal ini. Dalam ulasannya mengenai karya-karya Pramoedya, A. Teeuw (1997:266) menulis.


Pramoedya could present the man Minke [protagonis Bumi Manusia] as the pioneer of an Indonesian
nation of the people, nation where justice and equality would exist, where women would have equal
rights and where men and women would have freedom of expression. Such has been Pramoedya‟s
ideology of the Indonesian nation, from his earliest stories written as a guerilla fighter to his great Buru
novels, created while a prisoner in his own Indonesia. This national ideology gives the fascinating unity
to all his work, which can be characterized by a national Indonesian motto, bhinneka tunggal ika, unity in
diversity.

Keunikan Indonesia sebagai negara yang tidak mengadopsi bahasa Belanda, bahasa bekas
penjajahnya telah menimbulkan ciri anti kolonial yang pekat dalam karya sastranya. Dengan
bahasa nasional sendiri, para sastrawan Indonesia, sejak akhir masa kolonial, menulis
persoalan-persoalan dalam masyarakat mereka sendiri, termasuk persoalan-persoalan bangsa
mereka sendiri, tanpa harus tersekap kaku dalam kanon-kanon kesastraan Barat (Foulcher
1995). Dalam karya-karya mereka konvensi-konvensi sastra Melayu lama masih terasa, yang
diramu dengan unsur-unsur baru yang mereka peroleh dari berbagai budaya seperti budaya
Islam dan Eropa sendiri. “The influence of traditional [Malay] literature can be seen more
obviously in the style of language used in early [Indonesian] novels” (Aeusrivongse 1976:76).
Dalam pandangan para peneliti Barat hal itu telah dianggap sebagai penghalang pencapaian
nilai sastra yang tinggi. Namun, „Eurosentric biases‟ itu, sebagaimana halnya juga terefleksi
dari fiksi-fiksi colonial yang ditulis oleh orang Belanda tentang budaya dan masyarakat
Hindia Belanda (lihat: Roskies 1988), telah dikritik pula oleh sebagian peneliti (lihat
misalnya: Sweeney 1994; Derks 2001). Dengan kendaraan bahasa Melayu sendiri, sastra di
dunia Melayu telah membentuk dirinya sendiri dan juga telah menjalankan fungsinya yang
khas sebagai media untuk mengekpresikan nasionalisme dalam masyarakatnya.


Sastra dan semangat kebersamaan rumpun Melayu sampai tahun 1950-an
Sejak Zaman Pergerakan (1920-an) sampai 1950-an sastra di dunia Melayu masih belum
terkotak-kotak oleh batas kenegaraan seperti sekarang ini. Era tersebut masih melanjutkan
kesatua Melayu di zaman pernaskahan, sebagaimana telah diuraikan di atas. Pada masa akhir
zaman kolonial sampai dekade awal kemerdekaan dunia Melayu dari penjajahan Eropa, para
pengarang dan intelektual dari wilayah yang sekarang bernama Indonesia banyak memberi
inspirasi kepada rekan-rekan mereka yang berada di Semenanjung Malaya. Mereka merasa
bersama dan bersatu di bawah landasan Islam, agama yang telah lama menjadi ciri pembeda

orang Melayu dengan puak-puak lainnya di Asia Tenggara. Para intelektual dari Sumatra,
khususnya Minangkabau yang hijrah ke Semenanjung Malaya akibat tekanan penjajah
Belanda, banyak yang menjadi pemimpin agama dan politik di sana. Mereka menjadi orang-
orang terkemuka di Semenanjung Malaya. Sekedar contoh, ulama kharismatik Perak Syeikh
Tahir Djalaluddin (1869-1956), pemimpin pertama Federasi Malaysia setelah merdeka dari
Inggris Tuanku Abdul Rahman (1895-1960) dan presiden pertama Singapura Yusof bin Ishak
(1910-1970) adalah tiga orang terkemuka yang berdarah Minangkabau (lihat: Aziz 2003;
Chaniago 2010:498-504, 522-27, 532-35).
Menurut Pak Su Ji, banyak sastrawan di Zaman Pergerakan di Malaysia, khususnya
yang berasal dari Kelantan, mendapat inspirasi dari para seniornya yang berasal dari
Indonesia, terutama para sastrawan keturunan Minangkabau seperti Hamka dan lain-lain.
Menurut penulis ini, pengaruh Islam dari Timur Tengah telah menjadi inspirasi bagi banyak
intelektual dan sastrawan di Indonesia dan Semenanjung Melayu untuk mencetuskan
semangat nasionalisme melawan kolonialis Belanda dan Inggris. Banyak majalah yang
diterbitkan di Indonesia dibaca secara luas oleh orang-orang di di Semenanjung Malaya. Ini
menunjukkan bahwa bahan-bahan bacaan dari Indonesia, terutama dari Sumatra, telah lama
berkembang dan mendapat tempat yang istimewa dalam masyarakat Melayu di Semenanjung
Malaya.

Pengaruh dalam bidang bahasa dan sastera semakin berkembang apabila Kongres Pemuda Indonesia II
pada 28 Oktober 1928 telah memutuskan untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan
dengan nama Bahasa Indonesia. Pengambilan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia telah memberikan
semangat baru kepada orang-orang Melayu untuk mengembangkan lagi kesusasteraan mereka.
Pengarang-pengarang novel misalnya Harun Aminurrashid, Yasin Ma‟amor, Raja Mansor, Abdullah
Sidek, Abdul Kadir Adabi banyak membaca novel-novel yang ditulis oleh pengarang Indonesia misalnya
Sitti Nurbaya (1922), Darah Muda (1927) dan Di Bawah Lindungan Ka‟bah (1933).13

Menurut Pak Su Ji pula, banyak novelis awal di Semenanjung Malaya yang mendapat
pengaruh dari karya-karya pengarang-pengarang Indonesia asal Sumatra, khususnya
Minangkabau yang memang mendominasi dunia kesusastraan Indonesian pada waktu itu.14


Pengarang-pengarang pada awal tahun 30an khususnya Abdul Kadir Adabi merupakan seorang yang rajin
membaca. Hal ini termasuklah bahan-bahan bacaan dari Indonesia. Menurut Rosnah Baharudin novel
Melati Kota Bharu mempunyai hubungan yang sangat erat dengan novel yang ditulis oleh Swan Penn
(nama samaran Prada Harahap, seorang tokoh wartawan Indonesia) iaitu Melati Van Agam. Pengaruh ini
dapat dilihat berdasarkan novel Melati Kota Bharu yang memilih bunga sebagai tajuk yang dilambangkan
pada wanita telah dimulakan oleh Swan Penn. Sebelum itu pada tahun 1932, Ahmad Syarkawi juga

Dikutip dari Pa Su Ji: “Faktor kelahiran pengarang Kelantan dan Minangkabau” dalam blognya:

http://keceklagi.blogspot.nl/2011/09/faktor-kelahiran-pengarang-kelantan-dan.html (diakses 5 Oktober 2012).
14  Menurut perhitungan Freidus (1977), sampai 1942, sekitar 85-90% pengarang Indonesia berasal dari
Minangkabau. Oleh sebab itu pengaruh bahasa Melayu Minangkabau pun sangat kentara pada waktu itu.

mengunakan unsur bunga dalam pemilihan judul novelnya di Sarawak iaitu Melati Sarawak dan
pengarang ini juga sebenarnya berasal dari Sumatera Barat. Pengarang dari Tanah Melayu juga mendapat
tempat dalam majalah Pujangga Baru dari Indonesia apabila hasil karya mereka diterbitkan dalam
majalah tersebut. Hal ini dapat dilihat melalui sajak Harun Aminurashid yang berjudul “Oh! Sariku”.
Pengarang-pengarang novel pada tahun 1930an ada yang berasal dari Indonesia khususnya dari
Sumatera. Mereka juga telah membantu mempercepatkan penulisan novel di Tanah Melayu apabila
mereka menjadikan negara ini sebagai destinasi mereka. Salah satu sebab mereka berhijrah ke Tanah
Melayu berikutan tekanan politik penjajah Belanda. Pengarang-pengarang tersebut termasuklah Raja
Mansor, Shamsuddin Salleh, Yunus A. Hamid, Ahmad Nur A, Shukur dan Muhammad Sanin Taib.
Selepas Tanah Melayu merdeka, Idrus seorang pengarang dari Padang, Indonesia pernah menetap di
Kuala Lumpur.
Pengaruh kepada sastera dari Indonesia cukup tinggi bukan sahaja pada tahun tahun 20-an dan 30-an
tetapi minat ini terus berkembang sehingga sekarang. Aliran masuk novel-novel dan bahan bacaan dari
Indonesia pada akhir tahun 1940-an sehingga 60-an banyak membanjiri pasaran buku di Malaysia.
Beberapa novel dari pengarang Indonesia misalnya Atheis, Keluarga Geriliya, Salah Asohan dan Sitti
Nurbaya pernah menjadi bacan wajib kepada pelajar di peringkat menengah dan universiti pada tahun
1960 - 1990. Ini membuktikan bahawa pengarang Malaysia belajar dari pengarang Indonesia. Hal ini
dapat dilihat dalam koleksi perpustakaan peribadi milik Norhisham Mustaffa yang mempuyai koleksi
majalah sastera Horison disamping majalah-majalah serius dan bertemakan agama dari Indonesia seperti
Basis, Islamik, dan Kalam.15

Demikianlah, rasa kebersamaan dalam dunia sastra masih terasa di dunia Melayu sampai
tahun 1950-an, terutama antara Indonesia dan Malaysia. Bahkan dunia sastra pop juga
menjadi jembatan penghubung yang mempererat tali persaudaraan antara Indonesia dan
Malayasia. Banyak latar cerita dan tokoh-tokoh cerita dalam roman-roman non Balai Pustaka
yang terbit di Sumatra seperti Medan, Bukittinggi, dan Padang16, mengambil latar dan tokoh-
tokoh yang melibatkan wilayah Indonesia dan Malaysia, seperti digambarkan dalam roman
Ratoe Boelan dari Kuala Lumpur karya Roma Nita (1941). Hubungan yang penuh kemesraan
itu terganggu menyusul kampanye „Ganyang Malaysia‟ yang dilancarkan oleh Pemerintahan
Sukarno terhadap Pemerintahan Federasi Malaysia tahun 1962-1966. Sukarno melakukan
politik konfrontasi dengan Malaysia menyusul keputusan Malaysia untuk menggabungkan
Sabah, Serawak, dan Brunei ke dalam Persekutuan Tanah Melayu yang dibentuk tahun 1961.
Penggabungan wilayah Kalimantan utara ke dalam Federasi Malaysia dianggap oleh Sukarno
telah menyalahi Kesepakatan Manila dan ia menganggap di belakang itu bermain kembali
politik kolonial Inggris. Refleksi sastra untuk mengingatkan kekeliruan yang telah dibuat oleh
kedua bangsa serumpun yang terlibat konfrontasi itu barangkali dapat dikesan dalam novel
Malam Kuala Lumpur karangan Nasjah Djamin (1968). Novel itu menggambarkan latar dunia
Melayu dengan negeri jiran, Malaysia, semasa konfrontasi (Santosa dan Jayawati 2011:120).
Walaupun tema novel itu agak erotis, yang menggambarkan pengaruh modernisme terhadap
kehidupan gadis-gadis perkotaan yang berpendidikan dan bergaul dengan bangsa lain, tapi


15 Ibid.
16 Lebih jauh mengenai roman-roman non Balai Pustaka yang terbit di Sumatra tahun 1920-an sampai 1950-an,
lihat misalnya Roolvink (1950), Rivai (1963), Sudarmoko (2008) dan Suryadi (2010).
18


narasinya mengandung pesan tersembunyi agar hubungan Jakarta dan Kuala Lumpur
diperbaiki kembali.


Dapatkah akar kemelayuan dapat diperkuat kembali lewat wacana sastra?
Berdasarkan uraian di atas kita mendapat gambaran bahwa invasi aksara Latin di satu sisi dan
tercabik-cabiknya dunia Melayu oleh peta-peta yang dibuat oleh para konolialis Eropa telah
menyebabkan terjadinya perubahan pada peran sastra Melayu sebagai salah satu lambang
pemersatu rumpun Melayu. Sastra dalam konteks kebudayaan Melayu menjadi terkotak-kotak
dan menjurus ke arah perjuangan sendiri-sendiri. Solidaritas kemelayuan jadi terkikis oleh
proyek nation-state baru sebagai „buah busuk‟ kolonialisme yang masih membingungkan
mereka. “[I]n Southeast Asia, the idea of nation is so new that we still do not fully understand
what it entails. [T]he more quickly we try to develop such a nation-state, the more threats
there will probably be. [T]he leaders [of Southeast Asian countries] have been struggling for
the past fifty years with the question of what a nation is, and in particular, with the question,
‘what is a nation-state?’.” (Wang 2007:x).
Setelah tahun 1960-an terlihat ekslusivisme sastra dalam pergaulan antar bangsa
serumpun dalam lingkup dunia Melayu. Demikianlah umpamanya, sastra Malaysia atau sastra
Brunei tidak begitu dikenal di Indonesia, kecuali oleh selinting golongan sastrawan saja.17
Sebaliknya, sastra Indonesia juga tidak begitu dikenal lagi di Malaysia dan di negara-negara
jiran lainnya. Peran sastra sebagai salah satu sarana penjaga identitas rumpun Melayu telah
menjadi tekotak-kotak oleh batas administrasi negara. Keadaan itu diperburuk oleh rivalitas
politik antar bangsa serumpun yang menjadikan dunia sastra sekarang jauh berbeda dengan
Zaman Pergerakan, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Pertanyaannya: mungkinkah semangat kemelayuan dalam dan melalui sastra itu dapat
diperkuat kembali? Bisakah sastra menjadi penopang rasa kebersamaan rumpun Melayu yang
sekarang terkotak-kotak dalam beberapa nation-state yang berbeda? Menurut saya, hal itu
sangat mungkin, mengingat modal historis yang pernah kita miliki, yaitu sastra Melayu zaman
aksara Jawi sampai tahun 1950-an, seperti telah dikemukakan di atas. Modal penting lainnya
adalah bahasa, yaitu bahasa Melayu yang sudah lama menjadi lingua franca di dunia Melayu.
Memang usaha-usaha untuk mengembalikan fungsi sastra Melayu sebagai unsur pembangun
karakter kemelayuan terus diupayakan, antara lain melalui program Mastera (Majelis Sastra
Asia Tenggara). Namun, kegiatannya mesti lebih diperluas dan iintensifkan, tidak hanya

17 Cukup penting dicatat di sini bahwa pertemuan para penyair Nusantara lebih sering dilakukan daripada
pertemuan para novelisnya, seolah menyiratkan bahwa syair memang lebih mengandung akar kesatuan budaya
Melayu-Nusantara ketimbang novel yang diadopsi dari tradisi sastra Barat.

sekedar ajang pertemuan beberapa orang sastrawan dan reuni pejabat-pejabat negara. Akan
lebih baik jika program tersebut dibarengi dengan aksi-aksi yang lebih nyata untuk
memperkenalkan sastra antar negara Asia Tenggara di kalangan pelajar dan masyarakat luas
yang bersifat lintas negara, misalnya dengan mengintensifkan kunjungan sastrawan antar
negara Asia Tenggara, apresiasi karya-karya sastra negara jiran di sekolah-sekolah, lomba
mengulas karya-karya sastra negara-negara jiran, dan lain sebagainya. Dengan demikian,
ranah sastra dunia Melayu di zaman sekarang tidak terkurung oleh batas-batas administrasi
negara yang kaku dan cenderung eksklusif.
Salah satu contoh yang relevan adalah temu sastrawan Melayu Raya (Numera) yang
diadakan di Padang pada bulan Maret 2012 lalu. Menurut saya, kegiatan itu dapat
mengakrabkan dan memesrakan hubungan para sastrawan antara negara dalam rumpun
Melayu. Dalam artikel saya yang ditebitkan di Haluan18 sempena menyambut acara Numera
itu, saya mengatakan bahwa mungkin akan lebih bermanfaat apabila kegiatan seperti itu
dilanjutkan secara berkala di masa-masa mendatang. Para sastrawan dari berbagai negara di
dunia Melayu harus menyadari peran penting yang bisa mereka mainkan dalam mempererat
hubungan bertetangga antara Malaysia dan Indonesia yang akhir-akhir ini terkesan kurang
sehat akibat politik kebudayaan yang cenderung memperlihatkan amnesia sejarah. Paling
tidak sejak enam tahun terakhir ini hubungan kebudayaan dan politik antara Indonesia dan
Malaysia, dua negara jiran yang tercipta akibat politik penjajahan Belanda dan Inggris,
cenderung makin tegang. Hal ini dikhawatirkan berimbas ke negara-negara jiran lainnya.
Kedua bangsa serumpun ini mengalami keterbelahan identitas kultural hanya karena label
paspor, corak bendera, dan perbedaan nilai tukar mata uang, membuat mereka makin sering
cekcok oleh perkara-perkara remeh-temeh soal budaya yang seharusnya justru bisa
mendekatkan mereka satu sama lain. Itu memalukan dan justru akan membuat bangsa-bangsa
lain tertawa melihat kita. Apabila saya membaca ulasan-ulasan para ilmuwan Barat (atau
ilmuwan-ilmuwan Asia sendiri yang mengekor teori-teori Barat) tentang fenomena
dekolonisasi di negara-negara bekas jajahan Eropa dulu, saya sebagai orang Timur dari
sebuah negeri yang dulu pernah dijajah oleh bangsa Barat (Belanda) merasa tersindir. Dengan
bahasa „ilmiah‟ yang secara implisit mengandung cemoohan, mereka mengatakan bahwa
banyak negara pasca kolonial di Asia dan Afrika justru mengalami krisis identitas yang
kadang jauh lebih parah dibanding ketika mereka dulu dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa,
bahwa perubahan dari “colonial rule” kepada “post colonial rule” malah sering tidak


Suryadi, “Pesan „Malam Kuala Lumpur‟ untuk Numera”, Haluan, 17 Maret 2012. Paragraf-paragraf

berikutnya dalam bagian ini dirumuskan kembali dari artikel tersebut.

membawa kesejahteraaan sosial dan material kepada bangsa-bangsa yang dulu diteriakkan
agar menjadi merdeka oleh pada pendiri negaranya.19 Dalam hal ini, Indonesia sering diambil
menjadi contoh kasus tentang sebuah negara-bangsa hasil dekolonisasi yang gagal. Jika pun
beberapa pasca kolonial itu telah menunjukkan kesuksesan secara ekonomi (seperti Malaysia
dan Singapura, misalnya), beberapa aspek lain menyangkut hak azasi manusia dan demokrasi
tetap menjadi sorotan para ilmuwan dan pemerintah negara-negara asing bekas penjajah itu.
Seperti terekspresi dalam berbagai media dan wacana publik di Indonesia dan
Malaysia, sikap respek atas dasar kebersamaan sebagai rumpun Melayu semakin mendangkal.
Kepongahan-kepongahan sebagai bangsa – kultus merek politik yang muncul belakangan dan
jauh lebih muda usianya dari etnisitas dan bahasa Melayu, yang sering malah belum dipahami
sepenuhnya oleh penduduk Asia Tenggara (lihat: Wang 2005; Wang 2007) – telah
mengakibatkan bangsa-bangsa di bawah bendera nation-satate namun sama-sama berasal dari
rumpun Melayu lupa kepada kesamaan akar budaya nenek moyang mereka di masa lampau.
Sesama saudara serumpun itu makin saling curiga-mencurigai, bahkan sampai ke ranah
budaya. Inilah salah satu ironi negara-bangsa pasca kolonial di Asia Tenggara yang, langsung
atau tidak, merupakan kontribusi dari penjajahan Barat terhadap dunia Melayu di masa
lampau. Saya kira sudah saatnya bangsa-bangsa serumpun di dunia Melayu saling
mengeliminir berbagai perbedaan akibat kehadiran negara-bangsa-negara-bangsa pasca
kolonial dan kembali memperkuat akar kebersamaan kita sebagai rumpun Melayu
sebagaimana dijalani oleh nenek moyang kita sebelum dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa
dulu. Untuk tujuan ini sastra, dengan sifat humanis yang menjadi ciri dasarnya, bisa
mendorong terciptanya kebersamaan itu kembali. Akan tetapi, untuk mewujudkan tujuan itu
dunia sastra mestilah bekerjasama dengan bidang-bidang lain, seperti media dan dunia
pendidikan.
Kaum sastrawan dan budayawan harus berinisiatif dan berindak proaktif dalam
menghadapi situasi hubungan budaya dan politik nasionalisme ekslusif di dunia Melayu yang
cenderung menegang itu. Kaum sastrawan tidak boleh terkurung dalam nasionalisme sempit
yang berlabel „Malaysia‟, „Singapura‟, „Indonesia‟, dan lain-lain, sebagaimana diperlihatkan
oleh para politikus dan sebagian masyarakat awam. Kaum sastrawan adalah teraju masyarakat
bangsa-bangsa yang berada dalam rumpun Melayu. Mereka haruslah menjadi inspirator untuk
menciptakan wacana (sastra) yang bernada sebaliknya: menyatukan perbedaan-perbedaan
yang semakin menyembul di antara bangsa-bangsa dalam rumpun Melayu. Mereka harus

19 Lihat antara lain buku yang diedit oleh Els Bogaert dan Remco Raben (2012) yang berbicara tentang fenomena
dekolonisasi di Asia dan Afrika.

mengambil jarak politik konfrontatif yang kadang terjadi antara Putrajaya, Jakarta dan
Singapura. Mereka harus menggerakkan pena untuk mereduksi ketegangan antara saudara
serumpun yang mencemaskan itu. Kaum sastrawan rumpun Melayu harus menjadi „reaktor‟
pendingin untuk menghindari semakin memanasnya gesekan „mesin‟ nasion antar negara di
dunia Melayu. Mereka harus tetap memegang kuat prinsip universalisme dan humanisme, dan
harus terus berada di garis depan untuk menyadarkan bangsanya atas kekeliruan dalam politik
ganyang-mengganyang soal kebudayaan ini. Hanya dengan mengambil sikap bijaksana
seperti itulah komunitas sastrawan Melayu raya akan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah.


Upaya mewujudkan Bahasa Melayu Supranasional
Usaha untuk menjadikan sastra sebagai sarana pembentuk karakter bangsa tentu tidak lepas
dari peran bahasa. Dalam konteks ini bahasa Melayu adalah kendaraan yang sungguh sangat
tepat untuk mewujudkan cita-cita itu. Munculnya beberapa negara-bangsa modern pasca
koloniaalisme  di         dunia   Melayu            telah    menyebabkan  terjadinya        percabangan    arah
perkembangan bahasa Melayu, khususnya antara Malaysia dan Brunei di satu pihak dengan
Indonesia di lain pihak. Berbagai usaha telah dilakukan untuk menjembatani perbedaan-
perbedaan itu, misalnya melalui pertemuan-pertemuan MABBIM (Majelis Bahasa Brunei
Darussalam – Malaysia – Indonesia). MABBIM dibentuk tahun 1985.20 Sementara itu
Singapura masih berstatus sebagai pemerhati. Namun, mengingat Pasal 153A Konstitusi
Singapura yang menyebutkan bahwa “bahasa nasional Singapura adalah bahasa Melayu dan
harus ditulis dalam aksara Latin” (Tan 2007:75), sudah selayaknya negara itu juga aktif secara
penuh dalam MABBIM dalam rangka memperkuat peran bahasa Melayu di negara pulau
tersebut.21
Tujuan MABBIM adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan semangat kebersamaan dan persaudaraan antara negara anggota.
2. Meningkatkan peranan bahasa kebangsaan/resmi negara anggota sebagai alat
perhubungan yang lebih luas.
3. Mengusahakan pembinaan dan pengembangan bahasa kebangsaan/resmi negara
anggota supaya menjadi bahasa yang setaraf dengan bahasa modern yang lain.

20 Semula anggotanya hanya Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia dan Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa (sekarang: Pusat Bahasa) Indonesia sehingga diberi nama MBIM (Majelis Bahasa Indonesia-Balaysia)
yang resmi berdiri tahun 1971. Kemudian Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei Darussalam bergabung tahun 1985
sehingga berubah nama menjadi MABBIM (Asmah 2004; Asmah 2010).
21 Sampai saat ini Singapura, walau mendeklarasikan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional mereka, belum
memilik Dewan Bahasa dan Pustaka, sebagaimana yang dimiliki oleh Malaysia, Indonesia, dan Brunei
Darussalam. Sampai sekarang di Singapura hanya ada dua lembaga bahasa Melayu, yaitu Majlis Bahasa (lihat:
http://mbms.sg/) dan Pusat Bahasa Melayu Singapura (lihat: http://www.mlcs.sg/home/) yang khusus
diperuntukkan bagi guru-guru bahasa Melayu di negara itu

4. Mengusahakan penyelarasan bahasa melalui penulisan ilmiah dan kreatif, pedoman,
dan panduan.
5. Mengadakan pertemuan kebahasaan berkala demi penyelarasan dan pendekatan
bahasa kebangsaan/resmi negara anggota.

Menurut Awang Sariyan, Ketua Pengarah Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, berbagai
kemajuan telah dicapai melalui MABBIM, walau kendala-kendala yang prinsipil belum juga
ditemukan solusinya. Awang menulis:


Keampuhan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, paling tidak dalam tiga ranah penting kehidupan
dan tamadun bangsa Melayu pada zaman silam, iaitu dalam perdagangan, pentadbiran (termasuk
diplomasi), dan dalam bidang persuratan (sebagai bahasa ilmu, kesusasteraan, ketatanegaraan, perundang-
undangan dan lain-lain) merupakan bukti jelas wujudnya konsep bahasa Melayu supranasional, iaitu
bahasa Melayu yang melampaui batas negara di kepulauan Melayu, apatah lagi batas negeri dan daerah di
sesebuah negara berbahsa Melayu. Bagaimanapun hal itu tampaknya sudah menjadi fakta sejarah. bahasa
Melayu yang digunakan di negara-negara berbahasa Melayu kini memperlihatkan jurang yang cukup
lebar dan dalam, baik pada segi kosa kata mahupun wacana keseluruhannya. Sehingga demikian, keadaan
saling faham antara pengguna bahasa Melayu di negara-negara yang berlainan mengalami gangguan yang
kadangkala [sudah] sampai pada tahap yang serius. Contohnya, buku yang diterbitkan dalam bahasa
Melayu varian Indonesia terpaksa diadaptasikan ke dalam bahasa Melayu varian Malaysia apabila dicetak
di Malaysia.
Memang sejarah tidak dapat diputar semula. Sejak kedatangan penjajah [Eropah], bahasa Melayu
di rantau ini mula melalui jalan sejarah yang berlainan. Secara beransur-ansur konsep bahasa Melayu
persatuan yang terjelma dalam bahasa persuratan klasik berpencar menjadi beberapa jalur yang menandai
kewujudan bahasa Melayu berjati diri kenegaraan. Bahasa Melayu di Malaysia, bahasa Melayu di Brunei
Darussalam, dan bahasa Melayu di Indonesia masing-masing membentuk ciri-ciri khusus yang menandai
situasi kenegaraan. Hal ini meskipun alamiah sifatnya dan tentu memberikan erti tertentu kepada
kewujudan negara berdaulat, namun dalam konteks kesuburan saling faham dan pemantapan wilayah
pengguna bahasa Melayu yang melampa[u]i batas negara, tidak dapat tidak isu itu memerlukan perhatian
yang saksama. (Sariyan 2012:25-6).


Awang Sariyan mengatakaan pula bahwa tujuan MABBIM bukanlah untuk mewujudkan satu
bentuk bahasa Melayu yang mutlak dan seragam bagi semua negara berbahasa Melayu. Sebab
menurutnya hal itu akan sulit dicapai dan lagi pula akan menghalangi kreativitas yang berlaku
dalam bahasa Melayu di negara masing-masing. Yang hendak dicapai adalah bahasa Melayu
yang relatif seragam dalam sistem azas pada setiap tingkat korpus bahasanya, “dari tingkat
sebutan hingga ke tingkat tatabahasa dan laras bahasanya. Inilah yang dimaksudkan sebagai
bahasa Melayu supranasional, iaitu bahasa Melayu yang dapat memaksimalkan darjah
keadaan saling faham dalam kalangan pengguna bahasa Melayu di semua negara berbahasa
Melayu dan juga di negara bubkan berbahasa Melayu.” (Sariyan 2012:26). Sariyan (ibid.)
juga mengatakan bahwa bahasa Melayu supranasional itu juga akan membantu upaya
pengembangan bahasa persuratan Melayu di luar dunia Melayu, sehingga pelajar dan
ilmuwan asing tidak terlalu terganggu oleh jurang perbedaan antara bahasa Melayu di negara-
negara berbahasa Melayu, terutama varian bahasa Melayu di Malaysia dan di Indonesia.

Munsyi bahasa Melayu asal Malaysia, Abdullah Hassan, menyebut bahasa Melayu
supranasional itu sebagai „Dialek Melayu Supra‟ (Hassan 1998). Ia menekankan pentingnya
membina Dialek Melayu Supra itu dalam konteks pembentukan tamadun Melayu di wilayah
Asia-Fasifik di abad depan, mengingat bahwa hampir 300 juta orang yang menjadi penutur
bahasa Melayu. Ia menyimpulkan bahwa “Dialek Melayu Supra yang digunakan oleh semua
bangsa yang menuturkan bahasa Melayu akan menyatukan bangsa Melayu” sehingga
“[b]angsa Melayu akan menjadi lebih besar.” Apalagi mengingat adanya pendapat yang
mengatakan bahwa bahasa Melayu sangat memungkinkan untuk digunakan sebagai bahasa
kerja resmi komunitas Asia Timur (Shin 2012). Abdullah mengatakan bahwa pengembangan
Dialek Melayu Supra itu memberi kemungkinan bagi pemanfaatan kekayaan pemikiran yang
terhimpun dalam kepustakaan bahasa Melayu oleh seluruh masyarakat Melayu. Hal ini akan
memberikan pengayaan pikiran masyarakat Melayu untuk terus berkreativitas dan
meningkatkan tamadun. Menurut Abdullah mengatakan pula bangsa yang menggunakan
bahasa sendiri dalam pembinaan tamadunnya mampu berkreativitas tinggi, seperti yang
diperlihatkan oleh Jepang dan Korea. Sebaliknya, bangsa yang tertawan oleh bahasa asing,
seperti bahasa bekas penjajahnya, menjadi lesu dalam kreativitasnya.
Berbagai upaya sudah dilakukan melalui MABBIM untuk mengeliminir kevariasian
bahasa Melayu antar negara, walau forum itu belum membicarakan secara serius gagasan
mengenai Dialek Melayu Supra yang digagas oleh Abdullah Hassan. Demikianlah
umpamanya, dalam aspek sistem ejaan Latin sudah dicapai keselarasan yang cukup tinggi.
Namun, masih muncul kesulitan dalam mencapai keselarasan dalam aspek pelafalan. Saya kira
MABBIM harus bertindak lebih progresif lagi dan mencari cara-cara yang efektif untuk
mengimplementasikan di lapangan berbagai keputusan yang sudah diambil. Kita ingat bahwa
pemikiran untuk mencari keselarasan bahasa Melayu antar bangsa itu sudah dimulai sejak
1959 ketika konsep Ejaan Malindo disepakati, tapi akhirnya urung terlaksana karena pecahnya
konfrontasi antara Malaysia dan Indonesia tahun 1962 (Hassan dan Hussain 2000:171).
Barangkali hal itu pula yang menyebabkan capaian-capaian dalam penyelarasan bahasa
Melayu anytar bangsa itu, sebagaimana yang juga diupayakan melalui MABBIM, agak lambat
menampakkan hasil yang nyata, khususnya dalam ragam tulis. Tumpuan usaha MABBIM
yang hanya lebih fokus pada penyelarasan peristilahan perlu diperluas. Dalam konteks ini,
upaya-upaya untuk menggesa terwujudnya keselarasan bahasa Melayu itu, sekaligus untuk
untuk membina karakter bangsa, baik dalam batasan nation-state maupun dalam arti bangsa
Melayu secara umum, ragam bahasa Melayu tulis harus diutamakan.            Saya kira
implementasinya di lapangan bisa dilakukan pula lewat sastra.

Menurut saya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh kalangan sastrawan dalam
mewujudkan peran sastra sebagai pembina karakter bangsa, baik dalam artian negara maupun
dalam artian kesetiakawanan bangsa Melayu supranasional.
Pertama, para sastrawan harus lebih banyak menulis tema-tema yang membangkitkan
rasa saling pengertian antar negara di dunia Melayu. Hal itu, misalnya, bisa dilakukan melalui
eksplorasi latar cerita dan juga tokoh-tokoh cerita yang bersifat lintas negara. Itu dalam
konteks kesetiawanan Melayu. Dalam lingkup satu negara, harus lebih banyak lagi dilakukan
eksplorasi yang lebih merepresentasikan hubungan antar etnis dan hubungan antar agama.22
Para sastrawan jangan terkurung dalam ekslusivisme etnisitas dan agama masing-masing.
Kedua, para sastrawan sebaiknya berikhtiar menonjolkan akar-akar kemelayuan
dalam karya-karya mereka dengan mengeksplorasi unsur-unsur sejarah dan budaya yang tidak
dibatasi oleh batas-batas kenegaraan modern seperti sekarang.
Ketiga, distribusi karya-karya sastra, khususnya yang mengekplorasi perasaan
kesetiakawanan Melayu, harus bersifat lintas negara. Sekat-sekat politik yang menghalangi
kelancaran aliran distribusi buku-buku, khususnya buku-buku sastra, antara negara di dunia
Melayu harus disingkirkan. Demikianlah umpamanya, karya-karya seperti itu yang terbit di
Malaysia dapat dengan mudah diperoleh di Indonesia, atau sebaliknya. Hal ini tentu bisa
diwujudkan melalui kesepakatan antar pemerintahan.
Keempat, memperkuat apresiasi sastra lintas negara dengan melalui multi media.
Misalnya, ada program televisi di Indonesia yang membincangkan karya sastra Brunei atau
Malaysia. Begitu juga sebaliknya. Ada rubrik khusus dalam surat-surat kabar Indonesia untuk
membicarakan sastra negara jiran seperti Malaysia, Brunei dan Singapura, baik oleh pengulas
dalam negeri sendiri atau pengulas undangan dari negara-negara jiran tersebut. Bahkan kalau
perlu, kevariasian bahasa Melayu dalam rubrik khusus tersebut diperlihatkan saja, tidak usah
diedit. Dengan demikian para pembaca dari negara-negara yang berbeda dalam rumpun
Melayu dapat saling mengetahui, kalaupun tidak sampai pada tahap memahami, karya-karya
sastra di negara-negara jirannya, dan dapat pula merasakan kevariasian bahasa Melayu itu.
Kelima (dan ini memyangkut program jangka panjang) adalah mencari aksara
alternatif selain Latin untuk mengkodifikasikan seluruh aspek yang terkait dengan minda

22 Menarik misalnya melihat hubungan antar agama antara tokoh Tantri (Islam) dan Hiang Nio (Khatolik) dalam
Orang Buangan karya Harijadi S. Hartowardoyo (1971; pertama kali terbit tahun 1967 dengan judul Munafik)
dan antara tokoh Ida (Islam) dan Sumarto (Khatolik) dalam Keluarga Permana karya Ramadhan K.H. (1978).
Unsur hubungan antara agama ini sebagai pendorong kesatuan bangsa (dalam konteks ini Indonesia), dapat pula
dikesan dalam Saman karya Ayu Utami (1998). Aspek hubungan antar agama dalam teks-teks sastra belum
begitu menonjol di Indonesia, terutama selama Orde Baru (1967-1998) karena pengarang mungkin juga terkena
sindrom ranjau SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan), dan oleh karenanya perlu dipikirkan oleh para
sastrawan dalam rangka memfungsikan sastra sebagai elemen untuk menjga kesatuan bangsa.


Melayu. Aksara Latin adalah representasi dari dominasi Barat. Mungkin kalangan ilmuwan
bahasa dan budaya serta para pakar teknologi dapat memikirkan untuk mengembangkan
kembali aksara Jawi. Dengan begitu, identitas kemelayuan bisa diperkuat kembali. Mungkin
usulan ini terkesan naïf. Tapi, cara ini adalah salah satu jalan jangka panjang untuk membuat
gerakan oksidentalisme di dunia Melayu.


Kesimpulan
Sebelum kedatangan bangsa Eropa, bangsa Melayu, walau memiliki keragaman budaya
tempatan, telah disatukan oleh sebuah bahasa yang telah lama menjadi lingua franca di
rantau Nusantara yang luas ini, yaitu bahasa Melayu. Dengan „kendaraan‟ bahasa Melayu
itu, terbentuklah dunia sastra Melayu yang berabad-abad sebelum kedatangan penjajah
Barat telah menjadi satu unsur pemersatu rumpun Melayu. Sastra itu, yang diperkaya oleh
unsur-unsur agama Islam dan aksara Arab, menjadi elemen penting yang membentuk
kebudyaan orang Melayu dan mempengaruhi karakter mereka.
Kedatangan orang Barat dan invasi huruf Latin yang disertai dengan teknologi
percetakan telah menggerus eksistensi sastra Melayu itu, walaupun masih sempat bertahan
selama paroh kedua abad ke-19. Pada awal abad kedua puluh ciri kemelayuan sastra itu
bergeser ke lingkup yang lebih kecil seiring dengan munculnya gerakan-gerakan
nasionalisme di dunia Melayu menentang penjajahan Belanda dan Inggris. Pada akhir
zaman colonial sastra sangat berperan jelas dalam membangkitkan dan menggelorakan
perasaan nasionalisme di kalangan bangsa-bangsa dalam rumpun Melayu. Sastra memberi
semangat         dan      ikut      menumbuhkan karakter           calon-calon      bangsa yang    berusaha
memerdekakan diri dari belenggu penjajahan. Walaupun demikian, rasa kesetiakawaanan
Melayu masih lagi terasa pada masa itu: para sastrawan dan intelektual dari Wilayah
jajahan Hindia Belanda dan Melayu Inggris di Semananjung Malaya masih saling
berketahuan dan saling mendukung inspirasi untuk mencapai kemerdekaan melalui wacana
politik, budaya, dan juga sastra. Kesetiakawanan Melayu itu masih terus berlanjut sampai
tahun 1950-an.
Pada masa-masa selanjutnya dunia sastra cenderung menjadi ekslusif mengikuti
batas negara. Dunia sastra kehilangan elan vitalnya sebagai wacana pemersatu rumpun
Melayu. Sistem politik rezim-rezim yang memerintah di negara-negara Melayu pasca
kolonialisme telah menyebabkan negara sendiri cenderung melihat sastra sebagai „lawan‟
dan oleh karenanya sering disensor. Keadaan ini benar-benar terbalik dari masa
sebelumnya di mana sastra justru menjadi (atau dijadikan) sarana yang penting untuk

mendorong semangat nasionalisme dalam usaha mencapai kemerdekaan dari penjajah.
Namun demikian teks-teks sastra tetap menjadi ladang bagi perumusan identitas
kebangsaan.
Sejak tahun 1970-an sampai sekarang berbagai usaha telah dilakukan dalam
memperkuat lem perekat antara sesama bangsa dalam rumpun Melayu. Gerakan itu
terutama dimotori oleh Indonesia dan Malaysia. Salah satu di antaranya adalah melalui
MABBIM dan berbagai macam pertemuan para sastrawan serantau Melayu. Namun,
gerakan-gerakan untuk membangkitkan kembali semangat kemelayuan supranasional itu
menghadapi berbagai tantangan pula: gerakan politik dan kebudayaan di dunia Melayu,
sebagai akibat dari pengaruh globalisasi dan politik imperialism modern, sering
menimbulkan gesekan-gesekan budaya dan politik di antara bangsa-bangsa di dunia
Melayu.
Dalam menghadapi perkembangan politik dan budaya di dunia Melayu dewasa ini,
kaum satrawan seyogiyanya mengambil peran aktif dan melakukan tindakan proaktif.
Melalui dunia yang digelutinya, kaum sastrawan lintas negara dalam rumpun Melayu harus
berupaya mempromosikan semangat kemelayuan sebagaimana dulu pernah dilakukan oleh
nenek moyang orang Melayu. Sastra dan kaum sastrawan harus berusaha merebut kembali
peran penting yang dulu pernah dilakoni oleh para pendahulu mereka di Zaman
Pergerakan. Untuk itu, seperti halnya para pendahulu mereka dulu, kaum sastrawan
sekarang haruslah berusaha mengapungkan tema-tema yang mampu menggugah
masyarakat untuk kembali memperkuat semangat kemelayuan melewati batas-batas politik
dan administrasi Negara dalam karya-karya mereka. Hal itu tentu harus dimulai dari diri
mereka sendiri: kaum sastrawan dari berbagai negara di dunia Melayu harus berpikiran
terbuka dan mampu menempatkan dirinya pada level supranasional.


Kepustakaan
Adam, Ahmat. 1995. Vernacular press and the emergence of modern Indonesian
consciousness  (1855-1913).   New    York:   Cornell            University       Southeast        Asia
Publications.

Aeusrivongse, Nidhi. 1976. „Fiction ans history: a study of pre-war Indonesian novels and
novelist (1920-1942)‟ [PhD dissertation, The University of Michigan].

Anderson, Benedict. 1983. Imagined communities: reflections on the origin and spread of
nationalism. London: Verso.

Asmah Haji Omar. 2004. Muafakat bahasa: Sejarah MBIM/MABBIM sebagai pembina
bahasa. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
27


-------------------------. 2010. Carik-carik bulu ayam: kisah runding bahasa dunia Melayu.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Aziz, Sohaimi Abdul. 2003. Syeikh Tahir Jalaluddin: pemikir Islam. Pulau Pinang: Penerbit
Universiti Sains Malaysia.

Bogaert, Els and Remco Raben 2012. Beyond empire and nation: decolonizing societies in
Africa and Asia, 1930s -1970s. Leiden: KITLV Press.

Budianta, Melani. 2007. “Diverse voices: Indonesian literature and nation-building”, in: Lee
Hock Guan dan Leo Suryadinata (eds.), Language, nation and development in
Southeast Asia, pp. 51-73. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Chaniago, Hasril. 2010. 101 orang Minang di panggung sejarah. Padang: Citra Budaya
Indonesia.

Cho Tae Young. 2012. Aksara Serang dan perkembangan tamadun Islam di Sulawesi
Selatan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Derks, Will. 2001. “A literary mycelium: some prolegomena for a project on Indonesian
literature in Malay”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 32,3; 367-384.

Dewall, H. von. 1857. “Eene inlandsche d rukkerij te Palembang”, Tijdschrift van Bataviaasch
Genootschap 6,3: 193-198.

Diehl, Katharine Smith. 1990. Printers and printing in the East Indies to 1850, vol.1: Batavia.
New Rochelle, NY: Caratzas.

Djamin dan Tasat. 193?. Sja’ir Anggoen Tji’Toenggal. Batavia: Balai Poestaka.

Djamin, Nasjah. 1968. Malam Kuala Lumpur. Jakarta: Pembangunan.

Dt. Radjo Panghulu, M. Rashid Manggis. 1989. Malin Deman. Bukittinggi : Pustaka
Indonesia.‟

Freidus, Alberta Joy. 1977. Sumatran contributions to the development of Indonesian
literature, 1920-1942. Honolulu : Asian Studies Program, University of Hawaii.

Foulcher, Keith. 1993. “Literature, cultural politics, and the Indonesian revolution”, in: D.M.
Roskies (ed.), Text/politics in island Southeast Asia: essays in interpretation, pp. 221-
256. Athens, Ohio: Ohio University Center for International Studies Monograph in
International Studies (Southeast Asia Series Number 91).

-------------------. 1995. “In search of the postcolonial in Indonesian literature”, Sojourn X,2:
147-171.

Gallop, Annabel Teh. 1990. “Early Malay printing: an introduction to the British Library
collection”, Journal of Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society 63,1: 85-124.
28


Gelb, Ignace Jay. 1952. A study of writing: the foundation of grammatology. Chicago: The
University of Chicago Press.

Gullick, John Michael. 2003. A history of Negri Sembilan. Kuala Lumpur: MBRAS
[Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society Monograph no. 33.].

Hamka. 1938. Tenggelamnja kapal Van der Wijck. Medan: Pedoman Masjarakat.

Hamka. 1940. Merantau ke Deli. Medan: Centrale Courant.

Hardjosoemarto, S. dan Aman Dt. Madjoindo. 1932. Rusmala Dewi: pertemoean Djawa dan
Andalas. Batavia C.: Balai Poestaka.

Hartowardoyo, Harijadi S. 1971. Orang buangan. Djakarta: Pustaka Jaya.

Hassan, Abdullah. 1998. “Dialek Melayu Supra untuk melangsungkan bangsa Melayu”,
makalah pada Persidangan Pengajian Melayu Sedunia: Pengajian Melayu Memasuki
Alaf Baru [Kuala Lumpur, Pusat Pengajian Melayu, Universiti Malaya, 28-30 Ogos
1998].

Hassan, Abdullah dan Khalid M. Hussain. 2000. Pendeta Za‘ba dalam kenangan. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Heinschke, Martina 1993. Angkatan 45: literaturkonzeptionen im gesellschaft politi chen
kontext: zur funktionsbestimmung von literatur im heading colonials Indonesien.
Berlin & Hamburg: Reimer.

Hoffman, John. 1979. “A foreign investment: Indies Malay to 1901”, Indonesia 27: 65-92.

Hoilul Amri bin Tahiran et al. 2005. Dari gerhana ke puncak purnama: biografi Asas ‘50: 55
tahun dalam persuratan. Singapura: Angkatan Sasterawan „50.

Idris, Abdul Samad. 1968. Negeri Sembilan dan sejarah-nya. Kuala Lumpur: Sharikat
Perchetakan Utusan Melayu Berhad.

Iskandar, Nur Sutan. 1944. Tjinta Tanah Air. Djakarta: Balai Poestaka.

Djojopuspito, Suwarsih. 2000. Manusia bebas. Jakarta: Penerbit Djambatan (Cet. ke-2).

Kaptein, Nico. 1993. “An Arab printer in Surabaya in 1853”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde 149,2: 356-362.

Mahkota, Ambas. 1962. Anggun Nan Tungga Magek Djabang dengan Puti Gondoriah.
Bukittinggi: Pustaka „Indonesia‟.

Maier, Henk. 2002. “Stammer and the creaking door: the Malay writings of Pramoedya
Ananta Toer”, in: Keith Foulcher and Tony Day (eds.), Clearing a space: postcolonial
readings of modern Indonesian literature, pp. 61-83. Leiden: KITLV Press.
29

Moriyama, Mikihiro. 2005. Sundanese print culture and modernity in 19th century West Java.
Singapore: NUS Press.

Negoro, Adi. 1927. Darah moeda. Weltevreden: Balai Poestaka.

---------------. 1928. Asmara djaja. Weltevreden: Balai Poestaka.

---------------. 1930. Kembali dari perlawatan ke Europa, Djilid I. Medan - Deli: N.V. Handel
Mij. & Drukkerij Sjarikat Tapanoeli.

Newbold, J.T. 1835. Sketch of the four Menángkăbowe States in the interior of the Malayan
Peninsula”, Journal of the Asiatic Society of Bengal 14 (January to December): 241-
252.

Nita, Roma. 1941. Ratoe Boelan dari Kuala Lumpur. Fort de Kock: Penjiaran Ilmoe.

Oemardjati, Boen S. 1972. Chairil Anwar: the poet and his language. The Hague: The
Netherlands Book and Steendrukkerij v/h Smits.

Peeters, Jeroen. 1993. “Palembang revisited: further notes on the printing establishment of
Kemas Haji Muhammad Azhari, 1848”, in: Paul van der Verlde (ed.), IIAS Yearbook
1995, pp. 181-190. Leiden: IIAS.

Phillips, Nigel. 1981. Sijobang: sung narrative poetry of West Sumatra. Cambridge:
Cambridge University Press.

Proudfoot, Ian. 1993. Early Malay printed book: a provisional account of materials published
in the Singapore-Malaysia area up to 1920, noting holdings in major collections.
Kuala Lumpur: Academy of Malay Studies and The Libray of University of Malaya.

--------------------. 1998. “Lithography at the crossroads of the East”, Journal of the Printing
Historical Society 27: 113-131.

Putten, Jan van der. 1997. “Printing in Riau, two steps toward modernity”, Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde 153,4: 717-736.

Ramadhan K.H. 1978. Keluarga Permana. Jakarta: Pustaka Jaya.

Ritter, W.L. 1843. “Lythographie”, Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië 5,1: 782-783.

Rivai, Sitti Faizah. 1963. „Roman pitjisan Indonesia sebelum perang” [Thesis S1 Fakultas
Sastra, Universitas Indonesia].

Roff, William R. 1967. The origin of Malay nationalism. New Haven, Conn. [etc.]: Yale
University Press (Yale Southeast Asia Studies 2).

Rolvink, R. 1950. “De Indonesiase „dubbeltjesroman‟”, dalam: Anton A. Cense et al. (eds.),
Bingkisan budi: een bundel opstellen aan Dr Philippus Samuel van Ronkel door
vrienden en leerlingen aangeboden op zijn tachtigste verjaardag, 1 Augustus 1950, pp.
255-264. Leiden: A.W. Sijthoff‟s Uitgeversmaatschappij N.V.
30


Roskies, D.M. 1988. Imperial perceptions: examples of colonial fiction from the Netherlands
East Indies. Canterbury: University of Kent, Centre of South-East Asian Studies.

Semaoen. 1920. Hikajat Kadiroen. Semarang: Kantoor P.K.I.

Santosa, Puji dan Maini Trisna Jayawati. 2011. Dunia kesastraan Nasjah Djamin dalam novel
Malam Kuala Lumpur. Yogyakarta: Almatera Publishing.

Sariyan, Awang. 2012. “Keantarbaangsaan dan pengantarbangsaan bahasa Melayu dan
pendidikan bahasa Melayu: catatan perkembangan, isu dan cadangan”, proceedings of
2012 DMIT International Conference „Issues and Challenges in Malay-Indonesian
Studies‟, pp. 15-54. Department of Malay-Indonesian Interpretation and Translation,
Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, 14 September 2012.

Shin Yoon-Hwan. 2012. “Bahasa Malaysia/Indonesia sebagai bahasa resmi pada komunitas
Asia Timur”, proceedings of 2012 DMIT International Conference „Issues and
Challenges in Malay-Indonesian Studies‟, pp. 3-13. Department of Malay-Indonesian
Interpretation and Translation, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, 14
September 2012.

Sudarmoko. 2008. Roman pergaoelan. Yogyakarta: INSISTPress.

Suryadi. 1998. Basimalin: pengantar teks dan transliterasi. Depok: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.

---------. 2010. “„Roman Indonesia‟: sebuah seri sastra pop yang pernah terbit di Padang”,
Padang Ekspres, Minggu, 3 Januari.

---------. 2012. “Pesan „Malam Kuala Lumpur‟ untuk Numera”, Haluan, Sabtu, 17 Maret.
Sweeney, Amin. 1994. “Aboard two ships: Western assumptions on medium and genre in
Malay oral and written traditions”, in: C. Andrew Gerstle and Anthony Milner (eds.),
Recovering the Orient: artists, scholars, appreciations, pp. 317-338. Chur [etc.]:
Harwood Academic Publishers (Studies in anthropology and history; vol. 11).

-------------------. 2000. “The Dutch impact: four generations observed”, paper presented at
ATMA-KITLV Colloquium on Dutch Scholarship and the Malay World: A Critical
Assessment [Bangi, 20-21 November 2000].

Tan, Eugene K.B. 2007. “The multilingual state in search of the nation: the language policy
and discourse in Singapore‟s nation-building”, in: Lee Hock Guan and Leo
Suryadinata (eds.), Language, nation and development in Southeast Asia, pp. 74-117.
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

Teeuw, A. 1997. “The ideology of nationalism in Pramoedya Ananta Toer‟s fiction”,
Indonesia and the Malay World 73: 252-269.

Thukul, Wiji. 1988. Sajak Protes. Jakarta: Lembaga Press Mahasiswa Universitas Nasional.
----------------. 2000. Aku ingin jadi peluru: sajak-sajak. Magelang: Indonesia Tera.

Utami, Ayu. 1998. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
31


Wang Gungwu. 2005. Nation-building: five Southeast Asian histories. Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies.

-------------------. 2007. “Keynote address”, in: Lee Hock Guan and Leo Suryadinata (eds.),
Language, nation and development in Southeast Asia, pp. ix-xvii. Singapore: Institute
of Southeast Asian Studies.

Wieringa, E.P. 1998. Catalogue of Malay and Minangkabau manuscript in the Library of
Leiden University and other collections in the Netherlands, Vol. One. Leiden:
Legatum Warnerianum in Leiden University Library.

Winstedt, Richard O. 1914. Hikajat Anggun Che Tunggal. Singapore: Methodist Publishing
House.

Winstedt, R.O. and A.J. Sturrock. 1908. Hikayat Malim Deman. Singapore: Methodist
Publishing House.

Zaidan, Abdul Rozak dan Dendy Sugondo. 2003. Adakah bangsa dalam sastra? Jakarta:
Penerbit Progres dan Pusat Bahasa.

Zonneveld, Peter van. 1996. Looking back, back talk and write back: Louis Couperus, E. du
Perron and Suwarsih Djojopoespito. Leiden: Department of Languages and Cultures
of Southeast Asia and Oceania Rijksuniversiteit Leiden (Semaian 15).